Hening Di Kepalanya

“Apa yang kaucari dari sebuah hening?” Kau bertanya.
“Ketenangan.” Aku menjawabmu setenang laut di kamar mandiku. Kau memantik korek itu pada tubuh lintingan tembakau di jari-jemari kurusmu.
“Hanya itu?” Dia mulai mengisap benda itu di bibirnya yang berwarna senja melepas cahaya. Hitam. Benda itu telah merenggut merah muda ke-oranye-an di bibirnya. Benda keparat yang tak seharusnya berada di sana.
Aku mengangguk. Memangnya apa lagi yang kita cari dalam hening selain ketenangan?
“Kau belum cukup mencintaiku, ternyata.” Dia mengepulkan asap dari bibirnya yang kini lebih mirip knalpot motor dua tak.
Bagaimana dia berpikir kalau aku belum cukup mencintainya? Tak cukupkah enam belas puisi cinta untuknya? Bagaimana dia berpikir kalau aku belum cukup mencintainya? Tak cukupkah lima kartu kredit pemberianku yang terselip di dompetnya? Bagaimana dia berpikir kalau aku belum cukup mencintainya? Tak cukupkah berlian yang melingkar tenang di jarinya, yang kubeli dengan keringatku selama dua tahun?

“Mengapa kau bilang begitu?” Aku bertanya demikian. Dia harus tahu betapa napasku saja bisa untuk menghidupinya.

“Karena kau hanya mencari ketenangan dalam sebuah hening. Apa ketenangan itu tak bisa kaudapatkan ketika tubuhmu dan tubuhku bersatu?” Dia bertanya lagi. Tentu saja aku dapatkan ketenangan dalam peluknya yang seliar auman singa. Tenang berada sejengkal dari hidupku ketika saat itu terjadi. Tenang sekaligus riuh dalam dada. Tenang yang ramai.

“Tentu saja aku dapatkan itu bersamamu. Namun bukan ketenangan semacam itu.” Aku menyangkal. Dia menyeringai. Mengisap lagi lintingan keparat itu dari bibirnya.

“Mengapa kau tak bertanya kembali padaku, apa yang aku cari dalam hening? Tidakkah kau ingin tahu?”

“Memangnya apa?” Kini pertanyaan itu menukar bibir. Dia tersenyum tipis. Setipis lingerie-nya ketika malam menjelang.

“Kenangan.” Apa? Aku menatapnya bingung. Menyelipkan tanya pada tatapanku. Dia tersenyum lagi. Kini senyumnya melebar. Selebar luas rumah yang kuberikan untuknya. Rumah untuk membayar cinta.

“Kalau kau mendapatkan ketenangan dalam hening, aku mendapatkan kenangan.” Lintingan putih itu hampir habis di jemarinya. Tersedot oleh ciuman-ciuman bibirnya. Membuatku cemburu pada benda sialan itu.

“Kenangan, tentang kita? Kau merindukan itu, hah?” Aku hampir mendaratkan ciuman di bibirnya yang seperti senja melepas cahaya. Hitam. Pekat. Dan bau tembakau.

Namun dia hanya menggeleng.

“Bukan. Aku merindukan diriku sendiri.”

“Maksudnya? Dirimu yang mana?”

“Diriku ketika Ibu memanggilku dengan sebutan, cah lanang-ku.” Dia tersenyum. Matanya menerawang pada dinding kamar. Mengingat masa lalu seolah masa lalu itu terputar luwes di permukaan tembok.

“Aku rindu ketika diriku masih menjadi laki-laki.” Ujarmu.

Aku tergugu. Diam. Tak mampu berkata apa-apa.

-fin-

4 Comments

Tinggalkan komentar