Untuk Perempuan Dalam Pelukannya

Untuk Perempuan Dalam Pelukannya,
Hai, salam kenal.

Aku menulis surat ini untukmu, perempuan yang kini sangat dekat dengan hawa napasnya. Ya, hawa napas lelakimu.
Perempuan yang kerap hadir di kepalanya sebagai ingatan yang manis. Kepala yang isinya seringkali membuatku kepayang. Ya, lelakimu semengagumkan itu. Tapi, tenang saja… tenang, aku tidak akan mencurinya darimu. Tidak akan. Tenang saja.
Aku sudah cukup melihatnya baik-baik saja dan bahagia berada di sampingmu. Itu saja cukup. Memang apa lagi yang kuharapkan bisa kulakukan sekarang ini? Tak ada lagi. Selain melihat bahagia kalian dari jauh. Melihat senyumnya terkembang karena ulahmu, dari jauh, aku pun turut tersenyum.

Mungkin kau bertanya-tanya siapa aku, kan? Kalau begitu, hai, aku perempuan yang mencintai laki-laki yang sama denganmu. Tapi tak seberuntung dirimu, yang bisa memeluknya kapan saja, bisa mendengarnya bercerita, bisa mengeluh apa saja padanya, bisa melakukan apa saja padanya, bisa mencintainya sebebas-bebasnya. Aku tidak bisa seperti itu, kau tahu?
Aku hanya bisa menatapnya di balik punggungmu. Aku hanya bisa mendengar suaranya lewat rekaman di kepalaku. Aku hanya bisa memeluknya dengan doa. Aku hanya bisa menyampaikan rindu lewat bisikan pada dinding kamarku. Aku hanya bisa mencintainya diam-diam. Tanpa perlu dia tahu, tanpa perlu kau tahu. Cukup kertas dalam buku diariku, dan dinding kamarku saja yang tahu, kalau aku begitu mencintainya, dan merindukan kehadirannya.

Namun hari ini, kutitipkan surat ini padamu, ada pesan dariku untuk kau baca;
Jagalah ia baik-baik, selalu ingatkan tentang kesehatannya yang lebih berharga dari apa-pun. Bilang padanya, sehat itu sesuatu yang mahal.
Buat dia selalu tersenyum sebab senyumnya ialah senyumku. Aku akan tersenyum di balik punggungmu saat dia terseyum.
Buat dia tertawa sesering mungkin. Aku sudah tak bisa melakukannya, jadi lakukanlah. Aku senang mendengarnya tertawa.
Jangan lelah mendengarkan ceritanya, sebab kau ialah perempuan beruntung yang bisa mendengar kisah-kisah hidupnya. Aku selalu menyukainya, karena dulu itu merupakan dongeng pengantar tidurku. Aku tidak bisa tidur tanpa itu, dulu. Dan sekarang, kau tahu? Aku sering tidur di atas angka dua belas. Tanpa kopi.
Jangan kecewakan ia sekalipun. Sebab kalau aku jadi kau, aku tidak akan melakukannya.

Terakhir, bahagiakanlah ia semampumu. Cukup cintai ia sederhana sebab kebahagiaan itu sederhana.
Kebahagiaannya adalah dicintaimu. Sederhana, bukan?
Jangan kau tanya bagaimana kebahagiaanku, karena bahagiaku cukup saja melihatnya bahagia.

Terdengar omong kosong, tidak? Terserah mau percaya atau tidak, tapi inilah yang kulakukan. Sejak ia mencintaimu, dan mulai melupakan aku.

Salam.
Dari aku, perempuan yang (juga) mencintainya.

ilustrasi : weheartit

ilustrasi : weheartit

Depok, 05 Februari 2015

8 Comments

Tinggalkan Balasan ke chikopicinoo Batalkan balasan