Marsinah, Aku Merdeka Tanpa Kebebasan

Garut, Agustus 1979

Kumandang kata-kata merdeka ada di mana-mana setiap bulan Agustus bertandang ke negeriku yang katanya sudah merdeka 29 tahun yang lalu.  Bendera merah putih berkibar di halaman rumah A’ Anwar Sadikin, abangku beda bapak, beda ibu. Kupandangi kain merah-putih yang tertiup angin sore. Begitu menggetarkan, begitu haru aku memandangnya sebagai kemegahan yang sangat, sangat. Bulu tengkukku merinding, bagaimanapun negeri pernah membuat luka di batin dan tubuhku, tetapi aku masih terpesona pada keluguan ibu muda bernama Pertiwi ini. Lantas, bibirku tersenyum beku ketika berdiri memandangi bendera Indonesia, bendera yang dipuja semua orang di negeri ini. Betapapun aku pernah dihinakan, dikoyakkan sanubarinya, bahkan tubuh ini, aku tidak mengapa. Aku tidak sekalipun menyimpan dendam terhadap negeri ini meskipun pemimpin negara saat ini lah yang selalu terbakar dalam tungku api di dadaku. Sekarang boleh saja cecunguk itu tersenyum lebar dengan tongkat dan singgasana seorang pemimpin, pemangku segala kuasa negeri ini. Menjabat sebagai orang nomor satu di tanah airku yang tak memiliki dosa apa-apa yang pernah beleleran darah dan air mata.

Tiba-tiba saja pikiranku melayang-layang ke tahun-tahun lalu sebelum aku diasingkan ke pulau antah-berantah, dibiarkan kelaparan dan mati busuk. Untunglah, tuhan belum mau memutuskan urat nadi di leherku. Dalam catatan tuhan, aku bukan mati di tahun-tahun keparat itu. Ia pasti takkan membiarkanku mati oleh tangan-tangan mahapencabut nyawa manusia. Manusia-manusia yang berlagak tuhan, seolah-olah ia sudah ada deal dengan malaikat pencabut nyawa untuk sedikit meringankan beban kerja malaikat Izroil . Ia masih sedia memberikanku napas meski terengah-engah, lalu dengan maha baik tuhan pun memberikan sesuatu yang amat sangat berharga kepadaku. Kebebasan. Aku menghirup udara yang mahaluas lagi setelah bertahun-tahun didekam dalam pulau buangan itu. Ya, aku bebas dua tahun lalu. Tahun 1977 aku bebas bersama kawan-kawanku yang masih memiliki nyawa dalam tubuhnya. Tetapi kebebasan itu tak lantas membuatku lupa diri. Aku harus eling, siapa diriku, dan mengapa sampai aku dibuang sehina-hinanya di pulau buru? Dan karena siapa atau karena apa aku bisa bebas menarik napas yang sepanjang-panjangnya lagi? Rasanya tak terjabarkan. Seperti hidup kembali. Dilahirkan kembali. Tetapi tidak sepenuhnya rasa itu ada. Gelimang dan bayang-bayang dosa masih meraja di benakku. Ketakutan itu pun kerap menyambangiku di hari-hari berikutnya. Takut apabila pemerintah berubah pikiran dan lantas ingin melenyapi orang-orang seperti aku. Toh, setelah hari pembebasan itu, aku masih harus wajib melapor dan memegang KTP bertanda E.T yang membuatku harus terkungkung di penjara kecil bernama rumah. Tapi tidak apa-apa, aku masih bisa makan enak, tidur enak, kencing, enak, ngopi pun sekarang bisa dan dilayani oleh istri abangku. Ia perempuan baik seperti Marsinah. Perempuan yang membayang-bayangi aku dari tahun ke tahun berikutnya. Yang membuat harapanku runtuh ketika huru-hara itu. Kadang, aku ingin mati saja, tapi kadang aku harus bertahan hidup demi menebus janjiku dulu kepadanya. Tapi sekarang aku tersadar, janji itu harus menguap bersama tanda E.T di KTP-ku. Aku takkan bisa membahagiakannya. Takkan bisa. Aku tak mungkin membiarkannya terus melayani aku tetapi aku tidak mampu memberi nafkah kepadanya karena tanda kecil berwarna merah di kartu tanda penduduk milikku.

Marsinah, hari ini Indonesia sedang merayakan kemerdekaan, tetapi kemerdekaan itu bukan milikku. Mar, apa kamu masih mengingat janjiku dulu kepadamu? Hanya kamu satu-satunya perempuan yang ingin kujadikan sebagai tiang hidupku. Satu-satunya perempuan yang akan tidur bersamaku sambil memanen pahala di atas ranjang. Kamu satu-satunya perempuan yang ingin kupanggil dengan sebutan Ibu, yang nanti akan ditiru oleh anak-anak kita nanti. Bayanganmu selalu muncul ketika aku ditangkap segerombol orang, ketika aku mendekam di penjara, ketika aku diturunkan seperti sapi ternak di suatu pulau tak berpenghuni, dan ketika aku menatap nanar biru langit di pulau yang lain. Di kota yang lain. Kedua mataku meneteskan air mata, untuk kali pertamanya, menginjak bayangan kebebasan. Aku tidak menangis sedikitpun ketika ditangkap dan merasakan harapan hidupku menipis, ketika digerombol ke dalam truk dan diturunkan secara tidak pantas, seperti memperlakukan hewan saja untuk menginjak tanah pengasingan itu. Tetapi bayang-bayang kebebasan itu membuatku menangis. Aku mengingatmu, Mar. Saat itu aku sadar, aku akan benar-benar melepasmu, dan melupakan keinginan-keinginanku untuk hidup bersamamu. Keinginan kita. Janji-janjiku yang sangat ingin kutepati. Namun nanti kamu akan tahu, aku tidak akan mampu melakukannya.

Mar, kini aku sedang bersenandika, sambil menatap bendera yang melambai-lambai tetapi masih menyimpan kegagahan, dan kepolosan bumi kita Pertiwi. Apa kabar Madiun? Kamu masih tinggal di sana, ataukah menetap di kota lain? Apa kamu ada di Garut sepertiku juga, Mar? Sungguh, setelah hari pembebasan itu aku tak berani lagi menginjakkan kaki di kampung kecilku. Aku tak berani lagi menatap tetangga-tetangga yang bersekongkol untuk menyerbuku di rumah. Aku tak siap memandang wajah-wajah itu lagi. Aku takut memandang wajahmu, Mar. Aku takut mendengar tanggapanmu mengenai aku. Pemuda bebal yang keras kepala menjadi pemberontak pemerintahan dan kolonialisme. Pemuda yang, barangkali ada di pikiranmu, tidak bertuhan. Apa hal semacam itu mengendapi kepalamu, Mar? Sungguh, aku ingin kamu percaya, aku masih mempercayai adanya Tuhan. Tetapi bila kamu bersikeras tidak percaya, aku tidak akan memaksamu. Kamu tahu, lantunan ayat-ayat sucimu itu seringkali menjadi mimpi indahku. Aku suka terbangun dan menyebutkan namamu saja. Aku sering bermimpi kita menikah dan memiliki sepasang anak kembar yang manis sepertimu, dan gagah sepertiku. Belakangan ini, aku mulai rajin sembahyang, seperti perintahmu dulu kepadaku. Perintah yang selalu aku sepelekan, dan kuabaikan. Tetapi, aku ingin sekali kamu tahu, bahwa setiap aku berdoa, aku teringat kamu. Marsinah, apa kamu masih menungguku melunasi janji itu? Di lain sisi aku berharap, kamu masih sendiri, dalam kamarmu, masih rajin sembahyang dan berdoa tentang keselamatanku sebab kamu sangat khawatir kepadaku. Itukah yang menyebabkanku masih bisa bernapas hingga sekarang? Kamu tahu, selamat dari tragedi cacat kemanusiaan besar-besaran itu ialah mukjizat bagiku. Apakah itu karena doa-doamu? Sesungguhnya, aku sangat ingin kamu tahu bahwa aku masih hidup, dan masih segar-bugar di kota kecil ini. Aku ingin kamu tidak mengenangku atau menangisi kematianku yang kamu sangka-sangkakan itu. Aku masih hidup, Mar. Seandainya kamu tahu.

Marsinah, apa kamu sudah menikah dan memiliki sepasang anak kembar yang akan kitanamai Sekar, dan Karno, seperti ocehan-ocehan kita di masa lalu itu. Apa kamu sudah mewujudkan mimpi kita bersama orang lain? Sebenarnya itulah momok bagi hidupku selama mendekam di pulau dan pindah ke kota ini. Aku ingin pulang, bertemu denganmu dan mengajakmu menikah. Melunasi janji dan memenuhi mimpi kita yang sederhana. Tetapi nyaliku akan selalu ciut ketika mendengar nama kota kelahiranku itu yang kini berubah mengerikan di mataku. Bahkan, aku tak berani lagi menginjak daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Itulah yang mengantarkanku ke sebuah kota kecil di Jawa Barat ini. Di sini efek-efek pemberontakan tidak terlalu kentara. Untungnya, aku masih ingat bila pamanku tinggal di kota nyunda ini, dan dengan tekad bulat-bulat ingin melupakanmu dan kota kecilku, aku berangkat mantap untuk tinggal di Garut. Kini aku masih bergelandang di rumah orang, Marsinah. Aku membantu abangku menjaga toko sembako kecil-kecilan sebagai imbalan atas kebaikan abangku meski itu takkan pernah cukup. Marsinah, pertanyaanku itu betul-betul, apa kamu sudah menikah? Pertanyaanku memang betul-betul, tetapi aku belum punya cukup nyali untuk mencari jawabannya. Aku masih tak berani menengok sedikit kotaku itu. Aku benar-benar hilang nyali.

Seandainya kamu tahu, Mar. Aku masih hidup. Aku masih menyimpan janji-janji kita sehingga tiada seorang perempuanpun yang ingin kunikahi selain kamu. Aku masih membayang-bayang mimpi kita yang sederhana. Hidup berdua di kota Solo, kamu ingin sekali lepas dari kedua orangtuamu yang katamu kolot itu. Kita akan benar-benar membangun rumah tangga berdua, dan memiliki sepasang anak kembar. Pokoknya harus kembar, walaupun di antara kita tidak memiliki gen kembar sekalipun. Kamu keras kepala, tetapi lembut hatinya. Cocok sekali menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Anak-anak kita. Sekar dan Karno, namanya bukan?
Marsinah, seandainya kamu tahu, aku masih menyimpan doa-doaku untukmu. Semoga kamu masih menyimpan aku dalam benakmu. Semoga kamu tidak pernah melupakan janji semata wayangku kepadamu dulu. Dan, semoga kamu masih mengingat aku sebagai pemberontak yang masih mencintaimu.

Aku masih berdiri memandangi bendera merah-putih yang diam, tidak lagi dikibari angin. Ia terkulai anggun di hadapan cakrawala senja. Aku menangis, haru.

*ET : eks tapol (tahanan politik)

—END—
Depok, 15 Agustus 2015

PS : Cerpen ini khusus dipersembahkan untuk Dio Tata Iskandar sebagai kado ulangtahun ke-20 pada tanggal 11 Agustus lalu. Dia memintaku menulis cerita yang didasari lagu ‘Hitamku’ Andra & The Backbone. Selamat ulangtahun ke-20!

Hitamku – Andra ATB

Masih adakah separuh hatiku
yang ku berikan hanya untukmu
ku harap engkau masih menyimpannya
jangan kau pernah melupakannya

maafkan kata yang tlah terucap
akan kuhapus jika ku mampu
andai ku dapat meyakinkanmu
ku hapus hitamku

masih adakah separuh janjiku
yang kubisikkan hanya padamu
ku harap engkau masih mengingatnya
jangan kau pernah melupakannya

andai ku dapat memutar waktu
semuanya takkan terjadi

maafkan kata yang tlah terucap
akan kuhapus jika ku mampu
andai ku dapat meyakinkanmu
ku hapus hitamku untukmu
simpan separuh hatiku
ku hapus hitamku untukmu
simpan separuh janjiku
ku hapus hitamku untukmu
simpan separuh hatiku

simpan separuh janjiku
simpan separuh hatiku
simpan separuh janjiku

6 Comments

Tinggalkan komentar