angin memetik bintang di matamu,
kerlip-kerlipnya mencintaiku
sepasang bintang berkecipak di langit malam
aku nelayan yang disesatkan laut gelap hamparan hitam
kabut-kabut tipis beterbangan
berusaha mencapai ketinggian langit
mirip seperti harapan, yang mencoba mengejar
doa-doa yang kauhembus ke udara
aroma-aroma yang kuhirup ini,
ialah sisa-sisa hujan bulan november
begitu hening, begitu sepi, begitu sedih
air mata yang diteteskan ke tubuhmu yang tanah
aku tenang.
kau tak begitu tahu aku,
dalam gelap, cemasku terlelap
diganti suara-suara senyap yang memanggil kenanganmu
dan aku akan memagut bulan
dengan mesranya.
ingin kuhirup wangi udara di tubuhmu,
atau aroma yang dimiliki bulan,
apakah mawar, atau bau belantara hutan hujan
biar, biar aku mendayung lebih jauh lagi
ingin kugetarkan langit, kubelah
dengan lidahku
aku hanya ingin merasai bulan
menyedot heningnya malam, ke dalam tubuhku
segalanya. semuanya.
ketika kau membaca ini, kasih,
aku sedang berlayar di keheningan malam,
merindu,
bulan.
—END—
Depok, 01 September 2015
p.s :
dan jika tanya terbit di kepalamu : mengapa kata bulan selalu direpetisi?
karena…
“hanya ada bulan di sajakku, sebab ketika aku memikirkanmu, kata-kata yang lain meninggalkanku.”