Suatu Hari di Rumah Tangga-ku

Dia tidak ingin menyentuhku lagi. Entah mengapa, kini aku menjadi santapan basi untuknya. Berita dua minggu lalu. Atau susu kadaluwarsa. Sebagai perempuan tulen, masih muda, dan cerdas, diperlakukan seperti itu membuatku merasa dilecehkan.

Dia tidak ingin menyentuhku sama sekali. Seakan-akan aku sisik ular yang menjijikkan atau tahi sapi yang tak sengaja dia injak lalu dia limpahkan tahi itu ke atas aspal dengan cara menggesek-gesekkan sepatu ke jalan sampai tahi itu hilang dari sepatunya. Aku seperti tahi sapi. Aku seperti liur anjing.

Dia tidak ingin menyentuhku sama sekali. Hal itu terjadi semenjak dia pulang dari pondokan di sebuah kota di Jawa bagian tengah. Sebulan yang lalu, dia pamit kepadaku ingin pergi mencari tuhan supaya dia bisa mengajariku menjadi hamba Tuhan dan Mbah Wonokromoko, gurunya.

“Aku hendak ke Jawa, dik. Ke pondok Mbah Romo, aku mau dekatkan diri ke Tuhan, dik. Bagaimana?” tanyanya waktu itu sambil memeluk diriku dari belakang ketika lagi masak sayur asem kesukaannya.

“Mau dekatkan diri ke Tuhan mengapa jauh-jauh sih, mas? Kan bisa di rumah?” tanyaku balik.

Ndak bisa, dik. Aduh, kamu ndak paham kayaknya..”

Lho? Kok ndak paham?”

“Ya, Mbah Romo itu kan adanya di Jawa, dik.”

“Lha, kamu mau dekatkan diri ke Tuhan apa ke Mbah Romo?”

“Ilmu Mbah Romo itu tinggi, dik. Seperti langit. Ilmunya itu ibarat tangga yang mengantar murid-muridnya agar lebih dekat dengan Tuhan. Gitu, dik.”

“Apa tidak musyrik, mas?”

“Lho, kok musyrik? Ya tentu ndak dong. Wong mau dekatkan diri ke Tuhan masak musyrik sih…” dia langsung sewot. Padahal kan aku hanya bertanya baik-baik.

“Yha kan aku bertanya, mas.”

“Belajar agama itu ndak bisa seorang diri, dik. Harus belajar ke orang yang ilmunya lebih tinggi. Kalau sendiri bisa keblinger. Kayak kamu!”

“Lho? Kok kayak aku?”

“Lha iya. Ibadah aja jarang apalagi mendekatkan diri pada Tuhan. Doa saja ndak pernah apalagi dekat dengan Tuhan!”

“Lho?!”

“Jadi boleh ndak?”

“Ya boleh. Masak niat baik mau dilarang-larang.”

“Nah begitu dong daritadi. Jadi ndak usah ada perdebatan.”

“Lha….”

Besoknya dia berangkat ke pondokan. Aku siapkan baju-bajunya, alat-alat mandi, perlengkapan ibadah, cemilan-cemilan buat di perjalanan, dan bekal buat makan siang jadi dia tidak usah beli di kereta. Pagi itu, aku mengantarnya ke stasiun Senen sampai dia naik kereta. Saat dia mau naik kereta, dia sempatkan dulu mencium keningku pelan dan kubalas dengan mencium tangannya.

Aku tidak menyangka itu terakhir kalinya dia menyentuhku.

Sebulan kemudian dia pulang. Tidak mengabariku lewat sms atau aplikasi chatting mana pun. Tidak menelpon juga. Dia tiba-tiba datang ke rumah, mengucapkan salam. Aku menyambutnya dengan salam dan hendak mencium tangannya dan memeluknya. Tapi dia berkilah. Membuat gerakan menghindar. Kemudian aku tawari makan, dia hanya menggeleng pelan dan bilang, “saya sedang puasa sampai jam delapan malam nanti,” katanya.

Saya? Saya? Dia bilang saya?

Puasa? Dia bilang puasa? Puasa sampai jam delapan? Puasa jenis apa?

Pukul delapan itu, kuhidangi segelas teh panas, nasi hangat, sayur asem, tahu-tempe, apel, pisang, jeruk, dan anggur. Dia hanya meminum teh panas dan dua butir anggur. Lalu dia pamit tidur. Aku ikuti ke kamar. Aku kangen juga. Tapi dia tidur memunggungiku. Dia tidak pernah tidur memunggungiku.

Entah mengapa dia tidur memunggungiku. Apakah dia menemukan perempuan lain di pondokan? Ah, tapi tidak mungkin. Dia tidak mungkin begitu. Dia tidak gila perempuan, setahuku. Aku mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan baik. Prasangka-prasangka buruk ku singkirkan.

Aku masih belum tahu mengapa dia tidur memunggungiku. Jadi, kucopot saja semua pakaianku kecuali pakaian dalamku dan tidur di sampingnya. Berharap dengan ini, dia jadi kangen. Bayangkan, satu bulan lebih kau tidak tidur dengan istrimu. Apakah bisa kamu menghindari rasa kangen? Tentu tidak. Tapi sepertinya masih ada pengecualian yang aku belum tahu.

Aku mencoba memeluk punggungnya. Kurasa dia pulas sekali. Mungkin dia kelelahan, jadi kubiarkan saja dia tidur tenang selama aku masih bisa melepas kangen dengan memeluknya.

Subuh-subuh ketika aku bangun, dia sudah tidak ada di ranjang. Dia menutupi tubuhku dengan selimut hingga semuka-muka. Untungnya tidak sampai hidungku, kalau tidak, aku bisa kehabisan napas. Aku penasaran, akhirnya aku ke luar kamar tanpa memakai baju yang semalam kucopot. Ternyata dia sedang membaca-baca buku, entah buku apa.

Melihat aku membuka pintu kamar, dia melirik sekilas, lalu memejamkan mata. Lha, kenapa? Ada yang salah dengan tubuhku?

“Pakai bajumu,” katanya singkat. Ini aneh, karena biasanya dia langsung menerkamku sesubuh ini dan bercinta pagi-pagi. Ini tumben-tumbenan.

Aku mencoba maklum, mungkin dia masih lelah, mungkin dia sedang puasa, mungkin dia… ah, sudahlah. Aku mandi dan mengganti pakaian dan masak. Sedangkan dia duduk anteng di kursi tamu sambil baca buku, baca koran, menyetel radio siraman rohani. Aku masak sayur sop, tumis tahu, ayam goreng, dan sambal. Di dapur. Sendiri. Dia tidak datang menguyel-uyel rambutku, tidak datang menyergapku dari belakang, tidak datang untuk sekadar rebah di tengkuk, atau memeluk pinggangku erat-erat. Atau, dia tidak datang sekadar melihat dan bertanya, “masak apa kamu hari ini, sayang?” tidak ada.

Satu minggu. Dua minggu. Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Aku diperlakukan begitu. Tidak disentuh sama sekali. Dia sering meninggalkanku di rumah dengan alasan rapat ini-itu. Pertemuan murid Mbah Romo, dan bla-bla-bla lain yang kuanggap hanya alasan semata. Jelasnya, sudah hampir tiga bulan kami tidur saling memunggungi atau kalau aku sedang kegerahan dan melepas semua baju, dia malah pindah tidur di kamar tamu. Aku tidak mengerti. Padahal kita baru dua tahun menikah. Apa ini karena kita belum memiliki momongan?

Apakah dia ingin momongan? Mau anak? Tetapi kalau iya kenapa dia menolak bercinta denganku? Bagaimana mau punya anak kalau begini? Aku bingung. Aku dilema. Aku tidak tahu apakah ada kesalahanku yang membuat dia seperti ini? Atau, atau, atau, ini efek dia mondok empat bulan lalu?

Aku tanyai dia baik-baik. Ada apa, mengapa kamu begini, ada masalah, dan beban-beban lain semua kuungkapkan sampai keinginan untuk punya anak. Dia menjawab baik-baik tanpa memandang mataku barang sekejap saja. Ketika aku menanyai apakah ini ada hubungannya dengan ajaran Mbah Romo? Dia malah marah-marah. Menggebrak meja. Dan menuding-nuding telunjuknya ke mukaku. Gusti, aing salah apa?

“Kamu nggak usah bawa-bawa Mbah Romo ya! Kamu ndak tahu apa-apa! Kamu tahu apa tentang ajaran guru saya? Ibadah saja ndak pernah!”

Astaga.

Kemudian dia membanting pintu dan ke luar rumah.

Satu minggu tidak pulang. Dua minggu. Tiga minggu.

Tiga minggu kemudian, tetanggaku mengaku lihat suamiku di kanal youtube. Kanal youtube yang menunjukkan kekerasan dan radikalisme kelas berat.

Suamiku itu, ya memang benar itu suamiku. Dia sedang menyumpah serapah di hadapan kamera. Dia menenteng senjata. Berteriak. Mengajak. Memaki. Berseru. Kemudian dia berlari ke tengah kerumunan. Dan meledakkan diri. Ya. Meledakkan diri.

Meledakkan diri dengan arti sebenarnya. Aku ternganga. Tetanggaku yang sudah pernah melihat video itu hanya memegangi pundakku yang bergetar. Bergetar hebat.

 

-Tamat-

Catatan: Baru menulis lagi setelah lama tidak menulis. Jadi kalau tulisannya kurang bagus, harap maklum. Cerita di atas hanya fiksi belaka, tidak menuding atau menyinyiri kaum mana pun. Saya hanya mencoba menjadi jenaka di tengah-tengah kisruh sana-sini oke. hhe.

4 Comments

Tinggalkan komentar