Perempuan di dekat lampu taman yang tidak menyala itu sedang menarik-narik rambutnya. Seperti biasa, dia mengatakan hal dan kata-kata yang serupa setiap ingatannya kembali kumat. Senyum ayunya yang sedikit keriput karena usia itu luntur sejadi-jadinya oleh suatu karena hal. Masa lampau adalah biang keladi segalanya bermula. Kepalanya berdengung-dengung seperti ambulans. Bedanya, bunyi yang ada di kepalanya bukanlah suara ‘ngiuuung-ngiuuuung’ seperti suara ambulans biasanya. Di kepalanya, bunyi dengung-dengung itu berubah menjadi suara bising bisikan hatinya sendiri. Patah, duka, dan kesedihan yang diputar-putar ulang di kepalanya. Kadang, membuat kepalanya sakit dan ia akan menjambak-jambaki rambutnya yang tidak pernah disisirnya selama satu minggu yang lalu. Suster yang baik hati akan datang kepadanya dan menenangkannya saat ia mulai kumat dan berteriak-teriak lagi. Perempuan baik itu akan membawakannya sisir rambut warna hijau daun, warna kesukaannya agar ia mau disisiri oleh Suster itu. Ya, perempuan malang itu ialah pasien Rumah Sakit Jiwa di daerah Jakarta Barat. Sudah dua tahun belakangan ini, ia menjadi penghuni di sana.
Namanya Elena. Perempuan yang masih lumayan muda. Usianya baru menyentuh angka ke duapuluh-sembilan, tetapi wajahnya sudah dihiasi keriput di kanan-kirinya. Matanya redup dan sayu. Rambut yang hanya sebahu itu lusuh karena jarang disisir dan sering terkena sengatan matahari. Meski begitu, ia tetap cantik. Bibirnya menggoda warna merah alami, dan di bawah bibirnya ada tahi lalat yang membuat dirinya terlihat seksi setiap kali tersenyum. Beberapa laki-laki pernah mendaratkan bibirnya di sana, dan mereka berhasil tergila-gila dengan itu. Hidungnya menjulang tinggi, berpadu dengan alis yang tipis tetapi memanjang, membuat laki-laki akan mengatakan kalau gadis itu seperti gula jawa. Manis. Dulu, kulitnya segar. Kuning langsat. Tetapi sekarang, lihatlah, kulitnya seperti bulan yang malas mengeluarkan sinar kuning emasnya. Pucat pasi.
Elena pernah mencintai bibir dan matanya. Masa lampau, bagi Elena adalah masa-masa yang ia ingin lupakan seumur hidup sebagian, dan sebagiannya lagi ingin ia ingat sampai ia lupa bernapas. Mata dan bibir Elena adalah bagian dari masa lampau yang ia cintai. Ia pernah membakar dadanya sendiri dengan tatapan matanya yang genit kepada seorang laki-laki. Ia pernah menemukan tubuhnya mendidih saat bibirnya melumat bibir laki-laki itu. Laki-laki yang sama. Laki-laki yang, katanya, ingin ia ingat sampai lupa bernapas. Laki-laki yang ia cintai. Namanya tenggelam dalam kenangan-kenangan yang ia simpan untuk ingatannya sendiri. Ia melupakan nama laki-laki itu, tetapi tidak dengan aroma di tubuhnya, bau bibirnya yang bekas menghisap tembakau, dan takar kelembutan bagaimana laki-laki itu pernah mencumbu dirinya di kamar kecil yang pengap. Tapi baginya, itu ialah semacam surga kecil. Sebab ia belum pernah merasa bahagia sebelum bersama laki-laki itu. Laki-laki yang ia lupa namanya. Laki-laki yang ia cintai.
Masa kecil perempuan itu tidak pernah betul-betul baik. Ibunya mati setelah mati-matian memperjuangkan hak hidup Elena. Ia tumbuh kembang menjadi gadis yang cantik bersama bapaknya. Iblis yang mengaku malaikat. Bapaknya sebelumnya sangat menyayangi Elena seperti seorang anak sungguhan. Tetapi nafsu berahi melumat habis jiwa kebapakan dari Bapaknya. Suatu hari, ketika Elena masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, bapaknya mendatangi anaknya yang sedang berganti baju ketika pulang dari sekolah. Pria paruh baya itu tenggelam dalam berahinya karena tak tahan dengan waktu yang selama ini mengekang naluri laki-lakinya. Rindu bersetubuh itu tidak bisa tertahankan lagi. Elena tidak lagi disayang sebagai seorang anak sungguhan. Siang itu, Bapaknya menyayangi dia sebagai objek kepuasan. Setelah siang itu, dan seterus, seterusnya, tidak ada lagi Elena anak Bapak. Adanya, Elena, objek fantasi bapak.
Bibirnya tidak mau pernah terbuka untuk menceritakan kelakuan bapaknya semasa hidup sampai ia dikubur di liang lahat karena serangan jantung. Biarlah ia sendiri yang tahu. Biarlah selama ini dia menyimpan bangkai bapaknya di balik ketaatan bapak kepada Tuhan. Siang itu, Elena diancam untuk tidak memberi tahu apa-apa tentang kelakuan bapaknya, atau ia akan mati dibunuh bapak kandung sendiri. Elena ngeri membayangi pistol bapak membuat kepalanya meledak. Sebelum siang itu, sebelum Elena jadi objek fantasi bapak, bapak adalah seoran perwira yang dipecat tidak hormat. Jadi, Elena diam saja. Seperti kuncup bunga yang mengatup, tidak pernah mekar. Itulah bibir Elena. Selalu bungkam, jarang bicara, tersenyum, dan jadi pemurung. Masa lalunya hitam. Yang putih hanyalah hatinya yang kemudian menghitam sendirinya. Hati yang lapang itu, kini gelap.
Selepas kepergian Bapak, Elena dilema. Tidak punya uang lagi untuk menghidupi dirinya sendiri. Tak ada makanan untuk menghidupi perutnya. Selama ini, bapaknya yang memberi makan dari uang hasil judi, atau hutang kesana-kemari. Ditengah kebingungan yang melanda, Lolita, teman sepermainannya yang sudah tinggal dan hidup di kota, datang menawarkan jalan pintas baginya. Elena tergiur dengan kata-kata Lolita, seolah kini hidup ada dalam genggamannya. Hanya tinggal enak, kemudian mengantongi segepok uang untuk membeli kebahagiaan. Elena ingin bahagia. Ya, hanya itu dari selama ini yang ia inginkan. Dengan cara gampang seperti itu, istilahnya, tinggal ngangkang, dapat duit, Elena akhirnya mengiyakan untuk mencicipi tinggal di kota dan menerima kesemerawutan selanjutnya.
Tubuh Elena ‘terjual’ limaratus ribu rupiah di Ibu kota. Gadis pemilik mata nakal, bibir menggoda, dan payudara sedikit di atas rata-rata itu menarik hati seorang pegawai kantoran yang menggunakan ‘jasa’ Elena sebagai pemuas nafsu. Ternyata, pikirnya, banyak juga yang seperti bapak. Ia jadi teringat bapak. Masa lampau yang kelam itu, yang ingin ia lupakan seumur hidup. Bagian yang ini juga ingin ia lupakan. Seumur hidup.
Suatu malam, di malam Minggu, ia yang sudah lihai menangani laki-laki, kedatangan seorang tamu. Tamu yang hanya datang sekali seumur hidupnya. Laki-laki yang menyenangkan. Laki-laki yang kemudian membuatnya berhenti menggunakan seks sebagai profesi tetap. Laki-laki itu bertubuh tinggi dan agak tambun, rambutnya panjang sampai menyentuh leher, ia selalu mengenakan topi bundar warna hitam. Laki-laki ini mengingatkan ia akan masa kecilnya, ketika bapaknya sering menyenandungkan lagu ‘topi saya bundar’. Tiba-tiba ia rindu bapak lagi. Laki-laki itu, bukan laki-laki biasa. Ia biasa dibilang seorang penyair cinta. Rayuannya nakal, tetapi kadang kata-katanya mengundang kesedihan. Percaya atau tidak, ia bercinta dengan Elena sambil berpuisi. Elena terbuai oleh kata-kata dari laki-laki itu. Hanyut ke dalam pusara kata-kata. Laki-laki itu, dalam puisinya, menceritakan tentang cinta, kerinduan, masa lalu, masa kecil, kesedihan, dan dosa-dosa. Membuat Elena merenung seusai bercinta.
“Kenapa kamu datang ke sini? Katamu, ini lubang dosa..” ia bertanya sendu. Laki-laki itu sambil mengenakan kaos polo-nya, tersenyum. Hangat. Sehangat kata-katanya.
“Aku ingin membuat puisi…” jawabnya tenang.
Elena tertawa sinis. “Haruskah dengan bercinta denganku?” laki-laki itu diam. Kemudian tersenyum.
“Aku tahu hatimu lembut, Elena.” ia mengusap tangannya lembut. Perasaan hangat bedesir di dada Elena.
“Aku tidak mengerti maksudmu. Tetapi jujur, aku baru pertama kalinya bercinta sambil mendengarkan kata-kata seindah itu..” mata Elena menerawang.
“Kamu tahu? Biasanya, laki-laki yang bercinta denganku, ia akan melenguh seperti kuda kelelahan.” Elena tertawa. Ia terkejut. Baru kali ini ia tertawa sungguhan dengan ‘pelanggan’nya.
“Menurutmu kata-kata itu indah?” laki-laki itu bertanya. Tatap matanya sendu. Elena mengangguk sambil tersenyum sungguhan.
“Kalau begitu, aku benar. Hatimu lembut, bukan?” ia tertawa.
“Kata-kata itu seindah dirimu, Elena..” laki-laki itu tersenyum. Elena menggeleng.
“Percayalah. Omong-omong, namamu juga indah.” laki-laki itu mengerling sebelum bangun dari ranjang yang didudukinya.
“Terima kasih, Elena. Aku bahagia.” laki-laki itu berkata bahagia, bukan puas, seperti laki-laki lainnya. Elena terdiam. Tercenung sebentar. Ia merasa dihargai. Sangat dihargai.
Laki-laki itu sudah melenggang pergi dari kamar itu. Elena masih di dalam, tubuhnya masih belum terpasang sehelai benang pun. Pikirannya melayang-layang. Bagaimana bisa ada laki-laki seperti dia, pikirnya.
“Tidak, terima kasih…” bisik Elena pelan.
***
Dua tahun berlalu. Elena telah mengubur cerita-cerita dalam gang bermulut kecil, dan gelap itu. Lubang dosa, kata laki-laki itu. Laki-laki yang ia cari belakangan ini. Penyair yang membuat dia mulai mencintai puisi. Laki-laki yang menamparkan kenyataan, dan menghamparkan cahaya dalam dirinya. Tetapi ia tidak pernah menemui laki-laki itu lagi. Tidak pernah sama sekali.
Setelah lepas dari jerat dunia malam, perempuan itu mulai bekerja sebagai buruh. Uangnya digunakan untuk membiayai pendidikan selanjutnya. Ia kuliah. Kadang, bila ada uang tambahan, atau sisihan uang, ia menggunakannya untuk membeli buku-buku puisi. Untuk mengenang laki-laki itu. Laki-laki yang pernah menidurinya sambil mendongeng. Tidak asal kelon, lalu enak. Laki-laki yang, bagaimana pun telah menyadarkannya, kalau ia berharga. Seperti kata-kata dalam puisi. Laki-laki itu benar-benar membuatnya penuh, dan membuatnya bersyukur kepada Tuhan. Ia telah berbaik hati mengirimkan malaikat di tengah sarang penuh luka.
Hari-hari telah berganti wajah, tahun-tahun menua, dan zaman semakin berjiwa muda. Ia telah lamat-lamat melupakan penyair itu, yang berhasil membuatnya cinta kepada puisi-puisi. Dan Elena tengah menemukan cinta yang baru. Seorang vokalis band akustikan, yang lagu-lagunya sendu, menyentuh, dan puitis sekali. Mengingatkannya pada penyair itu. Penyair yang tak sempat ia simpan namanya dalam memori ingatan. Kali ini, ia tidak ingin begitu saja melalui cinta yang sempat ia lewatkan bersama penyair itu. Bagaimana pun, laki-laki vokalis band akustikan lagu-lagu sedih ini harus ia taklukan. Ia begitu menggilai laki-laki itu, dan pesonanya di atas panggung. Mata laki-laki itu sendu, mirip mata penyair dari masa lalu. Rambutnya panjang menyentuh leher, tetapi ia tak mengenakan topi. Tapi tak apa, bibirnya sama-sama mengeluarkan kata-kata yang memikat.
Laki-laki itu bernama Gandru. Gandruasta. Nama yang kini tak diingatnya lagi. Mereka menjalin cinta hingga beberapa bulan lamanya. Mereka bercinta berkali-kali. Dan kali ini, Elena melakukannya dengan cinta, bukan terpaksa. Elena melakukannya dengan sepenuh-penuhnya hati. Ciuman-ciumannya membuat Gandru kewalahan. Ia memang sudah terbiasa mencium perempuan, tetapi Elena berbeda. Ia liar, tetapi lembut. Gandru tidak mengerti. Sungguh, ia terbuai, tetapi ada dalam benaknya yang tidak merasakan apa-apa, selain nafsu berahi. Permainan yang tak seimbang. Gandru tahu, tapi ia membiarkannya. Elena mencintai Gandru, ia tahu betul. Tetapi Elena tidak tahu, ini hanyalah sebuah permainan Gandru. Hanya permainan.
Di sebuah malam, entah keberapa kalinya, setelah mereka bercinta, Elena merayu Gandru lagi. Tetapi Gandru menanggapinya dingin. Laki-laki itu tahu, ia harus mengakhiri permainannya, dan perempuan itu tidak tahu, kalau sebentar lagi, kebahagiaan itu, surga kecil itu akan musnah.
“Elena, dengar, ini tidak akan berjalan kemana-mana.” ujar Gandru dingin setelah dilumat bibirnya oleh perempuan yang duduk di depannya.
“M-maksudmu, apa Dru?”
“M-maksudku…hubungan ini, tidak akan pernah ada ikatan.” tandasnya.
“Tapi…Dru, aku…”
“Cinta? Kamu percaya cinta, Na?” Gandru tertawa sinis.
Hati Elena mencelos. Kata-kata Gandru bagai pedang yang menembus lukanya yang basah. Melukai lagi hatinya. Hati yang dulu kuat, membatu, kini rapuh menghancur. Tidak ada harapan lagi baginya. Ia terlalu luka untuk tidak menyangkut pautkan dan memadukan kisah-kisah hidupnya dengan masa kecilnya. Masa lampau yang tak mau diingatnya. Hidupnya, baginya, adalah miniatur kesedihan dan wujud ketidak adilan. Kebahagiaan yang diimpikannya sejak kecil, pupus. Harapan-harapan tiba-tiba sekarat dan mati di tengah jalan. Ingin ia mengakhiri segalanya, tetapi ia ingat pada penyair masa lalu itu; kamu berharga, Elena. Ya, setidaknya itu yang menguatkan hati Elena.
Berbulan-bulan lamanya ia mendekam seperti orang gila. Baginya, Gandru ialah kebahagiaan terakhir yang Tuhan berikan padanya. Maka, ia menulis surat-surat untuk Gandru. Surat-surat cinta yang dibuatnya sambil tertawa, atau menangis tersedu-sedu. Di akhir catatan suratnya, ia menyisipkan sebait, dua bait puisi cinta. Kadang, mengutip dari koleksi buku-buku puisi karya Sylvia Plath, Lang Leav, atau Kahlil Ghibran. Kadang, ia membuatnya sendiri. Puisi, bagi Elena adalah saudara kembarnya. Kesedihan yang dimiliki puisi, kadangkala sama dengan kehidupannya. Ia merasa satu nasib, sepenanggungan.
Puisi membuatnya terobsesi. Berbulan-bulan, berganti tahun-tahun lagi, ia tetap menulis surat, menulis puisi, dan dikirim ke alamat seseorang yang sama. Meskipun orang itu tak pernah membalas. Bagai psikopat, ia menyelinap pagi-pagi buta, ke depan pintu kos Gandru, atau menyuruh orang untuk menyelipkan surat cinta itu ke dalam kamar kos Gandru yang letaknya tak jauh dari gerbang, maka mudah dijangkau. Elena menggilai Gandru, dan ia pikir, cinta itu tidak pernah berhenti. Elena malah ketakutan, bila ia menemukan dirinya tidak bisa menulis puisi. Ia merasa tidak normal. Ia merasa dalam dirinya ada jiwa yang suwung. Kosong melompong. Ia merasa ketakutan apabila masa lampau itu merenggutnya kembali ke lubang dosa.
Suatu pagi, Elena terbangun, dan menemukan dirinya sebagai puisi cinta. Ia mendadak menggubah dirinya menjadi puisi yang dinyanyikan Gandru, ataupun diucapkan penyair masa lampau itu kepada seorang perempuan yang telanjang di sebelahnya. Ia mulai melepas bajunya satu-satu. Menanggalkan rasa malu, dan akal sehatnya. Menulis surat untuk Gandru, dan menulis puisi. Lalu mengendap-endap ke gerbang rumah kos tempat Gandru tinggal sementara, Tetapi sesuatu yang tak diduga datang, ia dilempari batu dan diusir orang-orang. Mereka melempari Elena pakaian, batu, ataupun ludah. Ia dihadang orang agar pergi dari gerbang rumah kos tempat Gandru tinggal.
“Pergi kamu, dasar orang gila!” teriak orang yang mengusirnya itu. Ia tak mengerti sama sekali. Pikirnya, ia hanyalah sebuah puisi yang memiliki kaki, dan akan memberikan tubuhnya seutuhnya untuk Gandru. Tapi ia tidak bisa. Ia dihadang orang-orang yang beringas dan melempari benda-benda ke sekujur tubuhnya.
“Aku puisi! Aku puisi! Aku puisi!” Elena berteriak-teriak. Sepanjang jalan. Tertawa terbahak-bahak. Lalu menangis tersedu-sedu.
“Baca aku! Baca! Aku puisi!” Elena terkekeh. Ia mendengar dirinya tertawa bahagia, tapi tidak merasakan apa-apa.
Elena tidak mengerti.
Ia tidak pernah mengerti mengapa, dan ia tidak pernah ingat, bagaimana ia bisa berada di sini. Di lampu taman rumah sakit jiwa ini.
“Aku puisi, aku puisi, aku puisi…” katanya pelan. Ia tertawa, tetapi dalam matanya tidak ada kegembiraan.
“Iya, iya, kamu puisi. Sekarang sarapan dulu, ya.” Suster itu tersenyum sambil menggandeng tangan Elena.
—-END—-
Depok, 7 Juli 2015