Surat Kepada Pluto, Jupiter, Uranus, Saturnus, Atau Kau

Sebenarnya, kata-kata ini ingin kujadikan puisi. Tetapi, ini aneh memang, menulis puisi untuk seseorang, khususnya lakilaki yang tidak pernah kujumpai sekalipun, seperti planet-planet yang kujabarkan pada judul. Aku mengenalmu hanya pada sebingkai gambar. Kemudian, penasaran itu seperti benalu tumbuh di dadaku. Kalau kamu tak suka benalu, aku akan menyebutnya rumput liar, yang jika terpangkas, atau dipangkas, ia akan tumbuh lagi seperti semula, atau bahkan lebih tinggi. Hei, aku tahu ini gila, tapi aku tak bisa mengendalikan kegilaan ini, dan hei lagi, siapa yang bisa mengendalikan kegilaan? Nah, aku lanjutkan, kamu tahu? Dari sebingkai gambar itu, aku mulai mencari bingkai-bingkai lain yang menyusun wajahmu, kebiasaanmu, perangaimu, buku-buku yang kamusuka, dan musik-musik barat yang kamusuka dengarkan itu. Tetapi kutahu, jawanmu pasti tidak tahu, karena mengapa? Karena kamu tak tahu kalau aku membututimu lewat dunia maya. Ini terdengar gila, dan mengerikan, bukan? Tapi aku tahu kamu menyukai kegilaan itu. Aku tahu itu dari bingkai-bingkai yang menyusun kamu.

Sekarang aku ingin menuliskanmu sebuah puisi. Kamu boleh melewatkan bagian atas dan bagian ini, tapi jangan lewatkan di bagian bawah ini, puisi ini :

Pertama dari bingkai, kedua dari potraitmu, ketiga dari kopi dan bukubuku
Apakah kau percaya, bahwa jarak dan sekat—apapun itu bentuknya—tak bisa menghalangi siapapun jatuh cinta
Barangkali begitu, sebab aku tlah dilenakan bingkai-bingkai, tetapi terlalu dini untuk mengatakan aku jatuh cinta pada kamu

Aku kambing betina, dan konon mudah jatuh cinta
Gampang percaya, termasuk pada bingkai-bingkai

Entah dari bingkai, aku ingin saja mejabarkan kamu seperti ini;

Kita barangkali dua mahkluk yang tenggelam dalam kopi
Bernapas dengan kenangan dan kesedihan yang berlarut-larut
Berenang mengarungi malam dengan kesepian atau kepala yang carutmarut
Kita acapkali tersesat pada rindu kepada entah siapa, dan puisi-puisi

Puisi dan kopi barangkali dua hal yang bagi kita belantara
Hutan yang menyimpan banyak hujan dan luka, dan kita tersesat dengan sukacita
Begitukah cara kita menamai kenangan yang selama ini membelenggu?
Ataukah kita sedang memainkan dramaturgi yang dituliskan oleh Tuhan sang Maha Agung, dan cuma Satu?

Kulihat bola matamu—lewat bingkai— yang redup seperti lampu tidurku 
Gelap, senyap, dan meneduhkan. Nama lain dari rahasiamu, bukan?
Banyak ‘atau’ dan ‘entah’ di sajak ini, karena kau ialah pertanyaan;
Seperti Pluto, Jupiter, Uranus, Saturnus, dan kau salahsatu yang tak pernah kujumpai di sini, atau di situ

Di bingkai selanjutnya, tibatiba aku menginginkan ini;
Menjadi kekasih Seno, yang iabawakan senja di saku bajunya
Dan aku ingin menjadikan kamu Kafka di rak bukuku
Dan lagi, mungkin berbulanmadu di Bandung seperti Arjuna dan Van Damme, Jesuit insyaf itu

Kau tahu? Ini gila, kan?
Ya, aku rasa berdebar berdentum-dentum dalam dadaku ketika menulis puisi ini
Apa ini puisi menurutmu?
Atau karya picisan cengeng?

Nah, aku ingin membagimu satu rahasia; yang tak lagi jadi rahasia;
Aku memiliki paranoid ketika luka nantinya membuatku seperti Nietzsche (aku tak tahu cara menyebutnya, tolong ajarkan via ciuman);
Dia mengatakan, tidak pada halhal romantika yang dominan melibatkan perasaan
Dan kalau kesimpulanku, luka membuat hati, yang hot chocolate itu mendingin seperti eskopi (dingin dan pahit)

Aku ingin mengutip karya Soe Hok Gie,
Kita berbeda dalam hal apa pun, kecuali cinta
Aku ingin menambahkan kata ‘buku dan’ sebelum kata kecuali
Bacalah buku Aan Mansyur, Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi; kau akan membayangkan bulanmadu di atas tumpukan bukubuku

Kau pasti merasa, atau berpikir, bait-bait di atas tidak laras
Tapi jangan khawatir, kamu sudah sampai di bait terakhir;
Suatuhari semoga kopi mendaratkan kita, dan kita akan berenang-renang, lalu tersesat, tapi berdua
Ke dalam kenangan, kesedihan, dan kesepian itu, kita lucuti bersama sampai tegukan terakhir

Sebab, pada sisa kopi di bibirmu, sisakan aku untuk mencicipinya.

———————————————————————————————————————————————————

Mungkin kamu tidak akan tahu puisi ini untuk siapa. Untuk kamu, atau untuk orang lain. Puisi ini memang untuk Pluto, Jupiter, Uranus, Saturnus, atau apa dan siapa pun yang tak pernah kujumpai sekali pun, termasuk kamu. Tetapi bila kamu mengerti, kemungkinan besar puisi ini memang untuk kamu. Ya sudah, semoga kopi mendaratkan kita kali lain, di hari lain, di bulan lain, di tahun lain, atau di tempat lain. Semoga luka masa lampauku, atau masa lampaumu tidak membuat kita seperti Nietzsche ( ajarkan aku membaca nama ini ); yang tidak percaya atau dingin kepada hal-hal romantika. Bacalah buku puisi atau berdoalah, untuk menyelamatkanmu dari kelogikan-kelogikaan yang diam-diam mematikan nalar mencintai sesama manusia.

Di akhir Surat Kepada Pluto, Jupiter, Uranus, Saturnus, Atau Kau, aku ingin menulis sepenggal lirik dari Echosmith, Bright :

“Did you and Jupiter conspire to get me?
I think you and the Moon, and Neptune got it right
Cause now I’m shining bright, so bright
And I get lost in your eyes”

fgfghghgh

—END—

Depok, 28 Juli 2015

Belati di Tanah Musim Kemarau

//1//

mengalir deras kegersangan itu di tubuhku,
setelah kaubasuh dadaku (terlebih dahulu) dengan sebilah luka
tak ada gema tangis yang mengisi ruang di gendang telingamu
rupanya kau (terlebih dahulu) tuli sebelum aku berduka

bunga-bunga layu, kumbang-kumbang mati di mukaku
lalat-lalat hinggap sebagai penanti kematian yang lain lagi
cermin retak ketika berkaca pada mata seorang anak kecil yang kehilangan masa kecilnya
direnggut oleh waktu yang makin beringas karena waktu

detik-detik mengucur deras di keningku
serupa air zam-zam yang keluar dari kaki jibril
kita, kau, atau barangkali aku, tidak sempat mengambil
barang sebotol saja untuk bekal minum di hari-hari nanti

//2//

melayang, kepak burung melayang tinggi
bagai ia lupa, kalau sayapnya punya kadaluwarsa
sebab waktu makin beringas karena waktu
zaman makin kejam karena zaman

peluru-peluru ditetaskan moncong senjata
siap menembak siapa saja yang bernyawa
siap menebus kematian siapa saja yang (tak) dikehendaki
dan aku menjadi daratan retak yang bersimbah darah

kau mulai lagi menghilangkan angin
membiarkan dirimu menang atas tubuhku
dan aku makin patah karena ulahmu
makin bersimbah-simbah darah

//3//

kerinduan membelah dadaku dengan musim
komat-kamit doa dilarungkan ke langit
memintamu, kekasihku, kembali menciumi wajahku
sebab rindu ini telah membuatku menua

aku takut, pabila kau kembali nanti
kau tak lagi jatuh cinta kepadaku
lalu enggan menciumi wajahku yang kusam ini
dan aku makin bersimbah-simbah darah

—END—

Depok, 25 Juli 2015

Merah Senja di Bengawan Solo

Rona senja menerpa sisi kulit pipi kirinya yang sudah mengerut terlumat masa. Senyumnya tak lagi bisa sedikit lebih terlihat bahagia dari ini. Bibirnya yang dinaungi keriput-keriput itu, kaku oleh luka yang diberikan zaman terhadapnya. Zaman yang memakan kebahagiaannya seperti mulut-mulut harimau kelaparan yang mengoyak-ngoyak isi daging mangsanya. Zaman juga yang telah mengambil paksa nyawa kekasihnya yang kini tubuhnya entah sudah berhenti atau masih mengarungi sungai Bengawan Solo. Di hadapannya, sungai itu terhampar panjang dan lebar. Cahaya senja seperti merasuki pori-pori air sungai yang tak bisa lagi dijadikan cermin matahari yang ingin menyaksikan tubuhnya sekali lagi, sebelum terbenam di ufuk barat.

Semalam, takbir mengucur deras dari bibir orang-orang di kampungnya. Semua bahagia oleh hari yang fitri dan malam penuh berkah. Tak terkecuali dirinya. Di dalam sebuah rumah sederhana, bercat hijau tua, dan berdinding rotan itu, pelan-pelan bibirnya gemetar mengucap takbir. Dadanya berdesir mengingat almarhum suaminya. Seperti apel yang disayat pisau dapur, luka itu menguliti seluruh dinding hatinya. Ngilu. Kesedihan membara di sana tak pernah padam sedikit pun. Kebencian juga pernah ada di sana, membakar seluruh kebahagiaan yang ia miliki. Perlahan padam sebab ia sadar, di usianya yang sudah renta, ia tak bisa lagi menyimpan dendam lebih lama. Mungkin, seperti api yang dipaksa padam, dan percikan-percikannya masih meletup-letup di dalam sana. Tidak ada yang tahu. Tak terkecuali dirinya. Ia hanya berserah kepada Allah Ta’ala yang telah memberi takdir sebegitu rumitnya kepadanya. Tidak, ia tidak sedang mengutuk kebaikan Tuhan yang telah memberinya kehidupan, ia hanya menjabarkan realita hidupnya. Rumit. Dan kesedihan berdebur-debur bagai ombak di pantai hidupnya yang sering terkena tsunami.

Kadang, ia bertanya-tanya, mengapa Tuhan memberi garis hidupnya sedemikian pedih. Mengapa Ia tetap membiarkannya hidup sebatang kara di tanah kelahirannya sendiri. Ditinggal pergi dari orang-orang yang dicintainya dengan cara yang amat keji dari tangan-tangan besi, yang ia pikir, tidak samasekali memiliki nadi dan aliran darah seorang manusia beradab. Ia juga bertanya setiap di penghujung malam, di atas sajadah yang sudah lusuh karena sudah berpuluh-puluh tahun menemaninya berdo’a pada yang Maha Kuasa. Sajadah itulah yang menyimpan air mata dan juga do’anya. Ia bertanya, mengapa dulu ia tak ikut diseret bersama suaminya oleh segerombolan orang-orang berbadan besar, yang kalau berjalan kaki-kakinya berderap bagai suara kuda-kuda di medan pertempuran. Mereka memberikan kecemasan luarbiasa yang sama. Derap-derap langkah kematian yang sampai ke dalam gendang telinganya. Mengapa ia tak ikut suaminya dilarungkan ke sungai Bengawan Solo dan menebus kematian bersama di sana. Bukankah kesetiaan itu tetap ada sampai maut menjemput? Dan ia ingin menjemput maut bersama kekasihnya, dengan cara bagaimana pun.

Usianya kini sudah mencapai angka ke tujuhpuluh tiga. Tentu bukan usia yang muda lagi dan telah matang untuk menebus kematian. Tapi kematian seperti tamu yang tak pernah datang meski ditunggunya bertahun-tahun yang lalu. Sejak Sudarmo meninggal dunia. Jasadnya mengapung mengarungi sungai Bengawan Solo. Darahnya menebar ke segala penjuru bersama darah orang-orang yang terbunuh limapuluh tahun lalu. Bukan, bukan terbunuh, tetapi dibunuh oleh tangan-tangan yang tak memiliki nadi dan tak ada darah seperti darahnya mengalir di sana; darah manusia. Kepala suaminya, yang dulu tempat dongeng dan puisi-puisi romantis untuknya bermuara, dipopor senapan kemudian……ledakan berdebum persis di pelipis kanannya. Musnahlah dongeng-dongeng dan puisi yang pernah disimpan di kepala suaminya. Mengalir  bersama arus Bengawan Solo. Menjadi dongeng legenda yang ia putar berkali-kali kepada putri semata wayangnya, Sriwedari, yang pada masa itu, masa suaminya dan kaum dari suaminya dihabisi dengan cara yang tak pantas ada di peradaban manusia, baru berusia enam bulan.

Sudarmo adalah pria biasa yang iakenal sebagai pribadi yang berbudi baik, santun, dan romantis. Darmo, begitu ia memanggil mesra suaminya. Pernah, ketika ia sedang mengandung buah dari cintanya, Darmo mencarikan buah kenari sampai ia sendiri memanjat pohon yang tinggi menjulang di halaman depan rumah rekannya, yang tanggal kematian dan cara kematiannya menyerupai suaminya. Darmo bukanlah pria yang taat beragama, yang mengimami dirinya sholat lima waktu, dan tangannya ia kecup setelah menuntaskan rakaat akhir. Darmo juga bukan pula pria yang rajin berpuasa. Namun walaupun begitu, ia tetap mensyukuri kebaikan hati suaminya. Darmo, seringkali membangunkan ia tengah malam untuk sembahyang malam, atau sahur di bulan ramadhan saat ia tengah sibuk di depan meja kerjanya, menulis tak-tik-tok-tak-tik-tok dari mesin tik yang berisik sekali. Darmo senang menuliskannya sebuah puisi. Katanya, “aku mencintaimu, dan aku ingin mengawetkanmu ke dalam puisi.” bisik Darmo mesra diiringi kekehan tawanya yang renyah dan hangat. Kadang juga, Darmo menulis naskah pidato. Entah untuk apa, ia tak pernah mencampuri urusan suaminya. Sing penting iso mangan, Nduk, kata suaminya suatu hari. Sampai suatu ketika, di tahun-tahun penuh ancaman di kotanya, banyak orang yang mati misterius. Tengah malam diseret segerombolan orang, esoknya ditemukan mengapung di Bengawan, atau ditimbun di balik semak-semak belukar. Bengawan Solo menjadi bau anyir.

Suatu hari, pukul dua dinihari, Darmo seperti biasa sedang menggoyangkan kakinya lembut. Membangunkannya untuk mengingatkan sembahyang malam. Ia terbangun, namun dengan perasaan ganjil. Uluhatinya terasa ada yang meremas-remas. Dengan air wudhu, ia basuh seluruh wajahnya, tangannya, telinganya, kakinya, kemudian menggelar sajadah di kamar depan. Suaminya masih asik dengan mesin tiknya. Tapi anehnya, tidak seberisik tempo lalu. Kali ini lebih pelan, dan lamban, tidak menggebu-gebu. Ia mulai memasang mukenahnya. Dimulainya rakaat pertama. Suara mesin tik perlahan-lahan hilang. Digantikan suara pintu terbuka. Berdebum keras. Suara orang berderap-derap lari; entah mengejar, atau melarikan diri. DRUAK! DRAK! KRAAAKK! Senyap. Airmatanya menetes. Ia tak berani menoleh ke belakangnya. Setelah salam, ia lebih memilih menjatuhkan wajahnya ke kedua tangannya yang tengadah. Ia tahu, itu suara maut, yang datang menghampiri suaminya. Malam itu, ialah giliran suaminya menemui maut.

Lututnya gemetar ketika menemukan suaminya telah tiada di meja kerja. Mesin tiknya rengat, seperti kena amukan masa. Para bala tentara itu barangkali telah membantingnya kuat-kuat ke tanah. Bangku yang biasa diduduki, kaki-kakinya yang dari kayu Jepara itu patah. Kertas-kertas berhamburan di lantai. Tulisan-tulisan yang tak selesai, menyisakan sepenggal ruang sebagai tanda bahwa kepergian Darmo tidak disertai pamitan dan ciumtangan dari istrinya. Darmo… Darmo, apa kesalahanmu sampai ikut ditangkap tangan-tangan besi itu? Hatinya nelangsa menemukan suaminya ikut lenyap. Ia sudah merasa pasti kalau Darmo itu akan dimatikan dengan cara yang keji. Entah ditembak, ditebas lehernya, atau disiksa seumur hidupnya. Ia tak berani membayangkan apa yang terjadi kelak kepada suaminya. Ia tidak berani…

Dua hari kemudian, tersiar kabar, bahwa, Darmo, suaminya, tengah malam itu dibawa ke hilir sungai Bengawan Solo. Darmo tidak sendiri tetapi didampingi tiga pria besar berseragam loreng. Tangannya diikat ke belakang, dan pelipisnya dipopor senapan berkali-kali sebelum bunyi gaduh tembakan terdengar nyaring di tengah hening malam, dan suara jernih air menghantarkan jasad Darmo mengarungi sungai Bengawan Solo. Ia tidak tahu siapa yang pertama membuat kabar seperti itu, tetapi ia percaya kabar burung itu. Darmo meninggal tanpa nisan, tanpa identitas, tanpa nama. Hanya tubuh yang kosong melompong, meninggalkan dunia fana ini dengan berenang tenang menuju surga-Nya. Ya, ia percaya. Darmo orang baik, setidaknya ia suami yang baik. Darmo tidak pernah kurang memberinya nafkah dan kasih sayang yang tak putus-putus selama hidupnya. Sampai ia menemui ajalnya, yang ia yakin, bukanlah keinginan suaminya.

Ziarah, di hari yang fitri ini merupakan tradisi yang wajib dilakoni oleh umat islam di Indonesia. Di Solo, kotanya. Tepat, limapuluh tahun setelah Darmo dilarung di sungai Bengawan Solo, setelah huru-hara pergantian orde lama menuju orde baru. Kini semua berubah. Benar-benar berubah pesat. Bengawan Solo tak lagi semolek dahulu, tetapi tetap meninggalkan keanggunan yang membekas di sana. Baginya, Bengawan Solo merupakan prasasti sejarah, muara dari kelamnya sejarah Indonesia yang disembunyikan berpuluh-puluh tahun, dan muara doa-doanya selama ini dilarungkan kepada yang Maha Segala. Ia datang dengan langkah tegas, meski tubuhnya yang masih ramping itu menua, dan kelihatan ringkih, tetapi jiwanya tidak gentar. Kaki-kakinya yang kurus masih kuat menopang tubuhnya dan juga semangat hidupnya meski seringkali ia bertanya-tanya, kapan tepatnya maut itu datang menjemputnya. Tangannya membawa sekeranjang bunga ziarah. Bau melati, kenanga, mawar menguar dari sana. Bau kematian yang harum, bisiknya. Ia telah sampai di depan makam suaminya. Pekuburan tanpa nisan, tanpa identitas, dan tanpa gundukan tanah. Air mengalir namun tak sejernih dahulu, seperti sepasang matanya yang melamur, lagi-lagi karena ulah waktu. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit memanjatkan doa. Khidmat. Sunyi. Tiada lagi yang terdengar di telinganya kecuali suara kecipak air di bawah telapak kakinya. Perlahan, matanya terbuka. Sinar matahari menyambut pupil matanya dengan sengatan yang menggigit kulitnya yang tipis. Tangan kanannya kemudian mengambil seraup bunga ziara dari keranjang sambil melemparkannya ke Bengawan Solo. Bunga-bunga itu mengapung, mengikuti arus bersama doa-doa yang barusan ia panjatkan. Menghantarkan keikhlasan dari kematian suaminya limapuluh tahun yang lalu. Dalam hati, ia bertanya-tanya, kapan gilirannya mengunjungi tanah Surga dan bertemu Darmo dan putrinya, Sriwedari yang menjemput ajal terlebuh dahulu daripada dirinya yang sudah hampir bau tanah.

Darmo, apakah aku akan abadi seperti puisi-puisimu? Bisiknya getir dalam hati.

—END—

Depok, 21 Juli 2015

*Karangan ini terinspirasi dari buku Mati Baik-Baik, Kawan-nya Martin Aleida. Sebuah kumpulan cerpen yang menawarkan kisah-kisah eks tapol dan membobol kunci sejarah yang selama ini terkunci rapat mengenai PKI, Gerwani, dan Lekra. Mohon maaf apabila ada kesamaan tokoh atau peristiwa, karena karangan ini murni fiktif namun berdasarkan riset kisah dari buku-buku tentang peristiwa 1965-1968 yang banyak merenggut nyawa manusia secara paksa. Terima kasih telah membaca, saran dan kritik sangat diterima dan diperlukan untuk saya.

Penyair Kota

Aroma dari dalam cangkir kopi menguar-nguar, mengeluarkan wangi-wangi yang bagi lelaki di hadapannya, adalah tempat imajinasi-imajinasi tersembunyi. Ia seringkali menemukan kesedihan-kesedihan dan cinta dari dalam secangkir kopi. Di lain kesempatan, lelaki bertopi koboi itu juga berjumpa dengan mantan-mantan kekasihnya, dan ibunya yang sudah lama tiada. Ia begitu banyak menyimpan penyesalan dalam secangkir kopi. Kenangan memang biasanya hidup di tempat-tempat favorit kita. Seperti di kedai kopi, rak-rak buku, atau di depan jendela tatkala hujan bertandang ke kotamu. Tapi bagi lelaki paruh baya dalam kedai kopi itu, tak ada yang lebih baik menyimpan kenangan selain dalam kepalanya sendiri. Di dalam kepalanya, kenangan hidup seperti anak-anak yang rewel dan manja, tapi tidak pernah menyebalkan baginya.

Meja kayu bulat dan pipih itu sudah diisi oleh beragam macam benda; cangkir berisi americano coffee, sebungkus rokok sampoerna mild, ponsel keluaran terbaru, dan tak lupa juga tab hybird keluaran vendor china yang baru dibelinya dari hasil upahnya mengais puisi-puisi di kepalanya. Menggali ingatan, sekaligus menggali tambang emas. Tapi baginya, puisi bukan hanya penolak lupa atas kenangan-kenangan dalam ingatannya, ia juga telah menjadi penghasil uang buat makan, minum, dan ngafe. Kebutuhan primer yang baru. Lagipula, puisi sebenarnya bisa menjadi alat sebagai sarana menyampaikan aspirasi—yang sebenarnya membangkang pemerintahan, tapi perlu dicatat,—dengan cara yang indah. Ia sendiri sudah sudah lama menulis puisi. Sejak tamat SD, ia mulai rajin membeli buku-buku puisi, hasil dari tidak membeli jajanan di kantin. Ia sudah cukup kenyang membaca sajak-sajak.

Lelaki bertopi koboi itu sudah tidak muda lagi. Umurnya hampir melewati kepala empat, tapi kesendirian masih sangat akrab pada dirinya. Padahal, bila dilihat secara fisik, lelaki itu cukup punya daya pikat di hadapan perempuan-perempuan bersepatu hak tinggi. Alisnya hitam dan lebat, memanjang seperti langit malam yang menaungi sepasang mata sendunya. Mata, yang kata kekasihnya dulu, seperti kegelapan yang mempu menyedot dirinya sampai ke dasar. Ah, yang berkata begitu hanyalah Arini, mantan kekasihnya, yang juga mencintai puisi sama seperti ia mencintai dirinya sendiri. Lelaki itu tersenyum. Ia teguk lagi kopi itu ke dalam mulutnya, yang banyak mendendangkan sajak-sajak, atau keluhan-keluhan. Bibirnya sedikit tersenyum ketika mengingat Arini, yang sudah menikah dan memiliki sepasang anak kembar yang lucu dan juga manis, mirip ibunya. Dulu, ia bermimpi memiliki sepasang anak kembar dengan Arini. Perempuan itu memiliki kakak yang juga kembar. Tapi mimpi itu putus oleh perpisahan. Ah, mengapa semua hal yang berbau mimpi dan harapan harus dipupuskan oleh perpisahan? Dan, mengapa waktu harus juga menciptakan perpisahan? Suatu hari, ia ingin sekali mengubah zaman, ia ingin menjadi pembuat kamus, dan tidak ada kata perpisahan di dalam sana. Tidak ada. Tapi memang dasar, lelaki itu tukang khayal, ia sering menemukan dirinya sendiri hampir mati karena tenggelam dalam imajinasinya yang membanjir. Arini pun, meninggalkannya karena ia terlalu banyak berkhayal tanpa melakukan apa-apa.

Arini, lihatlah aku sekarang, masih bujang, dan foya-foya dengan honor dari imajinasi-imajinasi yang kau bilang tidak berguna itu. Lihatlah. Ia membatin dalam hati. Tetapi, tetapi, apa benar bila kau nanti hidup bersamaku, dan memiliki sepasang anak kembar, akankah aku mampu membeli susu atau popok? Sekarang ia mulai ngeri, membayangkan dia menjadi seorang Ayah yang tidak berguna. Hanya pandai berpuisi atau mendongeng, tanpa bisa memberikan mereka makan, minum atau uang untuk sekadar ngafe. Kini ia mulai bersyukur. Ia tidak perlu menjadi seorang Ayah dari anak-anak kecil yang rewel dan manja. Ia juga tidak perlu menjadi suami seorang wanita yang akan membakar habis kebebasannya. Ia cukup menjadi ayah bagi kenangan-kenangan yang hidup seperti anak kecil dalam kepalanya. Ia juga cukup menjadi seorang kekasih bagi puisi-puisinya.

Suatu hari, saat sakit kepalanya kumat, ia ketakutan, apabila anak kecil di dalamnya ikut merasakan sakit, dan tiba-tiba akan mati, hingga suatu hari tidak akan ada lagi kenangan-kenangan yang setiap kali merengek seperti anak kecil itu lagi di kepalanya. Ia juga takut kehilangan puisi-puisinya. Kehilangan kekasihnya. Pernah ia berharap bisa menikahi puisi-puisinya. Tapi ia segera sadar, negaranya bukanlah tempat di mana pernikahan bisa melegalkan segala jenis cinta. Ini kata sepasang sahabatnya, Roy, dan Dimas—nama disamarkan—yang menyembunyikan jalinan cintanya selama hampir lima tahun. Jangankan sepasang gay seperti dua sahabatnya, aku saja bakal ditentang apabila berani datang ke KUA dan mengatakan kalau aku akan menikahi puisi-puisi. Ia membatin lagi. Teringat dua sahabatnya itu. Roy ditemukan mati konyol. Ia gantung diri di kamar apartemennya setelah dua hari polisi menemukan jasad Dimas mengapung di Kali Ciliwung. Hidup memang penuh misteri dan praduga-praduga yang belum tentu benar. Ia teringat lagi, seperti kiamat 2012 itu… Sampai sekarang, ia malah bertanya-tanya, apakah Dimas dibunuh oleh Roy? Atau Roy benar-benar bunuh diri karena ditinggal mati Dimas? Ini adalah pertanyaan yang begitu rumit dan seringkali dikatakan oleh kepalanya.

Kadangkala, ia merasa, kepalanya seperti bisa berbicara sendiri. Kepala yang menyebalkan itu sering bertanya hal yang menjadi keraguan di benaknya. Kepalanya rewel sekali. Tapi ia segera ingat, kepalanya adalah tempat anak kecil bermain. Kenangan adalah anak kecil yang menguasai taman bermain.

Malam semakin beranjak tua, dan kedai itu semakin ramai oleh orang-orang kesepian seperti dirinya. Ia sering sekali menyangkal kalau dirinya termasuk golongan makhluk kesepian itu, tetapi kenyataan tidak bisa disangkal. Tangannya lincah mengetik-ngetik di atas papan ketik tanpa kabel itu. Ia sedang menulis—mengetik puisi yang akan ia posting di blog, lalu ia akan menulis puisi lainnya untuk mengisi perutnya. Dikirim ke surat kabar harian, atau majalah. Media-media tenar di Jakarta sebagian ini merupakan pelanggan tetap puisi-puisinya. Hingga, penggemar sastra mana yang tidak mengenal penyair semacamnya? Namanya sudah begitu dikenal banyak orang (yang menyukai sastra). Perlu tanda kurung, karena, ya, penyuka sastra itu termasuk golongan minioritas, dan mayoritasnya adalah penyuka acara-acara di teve, film, atau kelab malam, dan hal-hal lain yang ia menolak mengerti. Baginya, hanya puisi yang layak ia pahami, karena yang lainnya membuat bingung. Atau memang dia yang tidak terbiasa dengan hal lain selain puisi.

Di zaman ini, banyak hal yang tidak bisa ia mengerti, termasuk menullis puisi di layar digital. Bukan di atas kertas kosong, atau di kertas yang dihentak-hentak oleh huruf-huruf dari mesin tik jadul. Zaman memang telah berubah. Melazimkan hal-hal yang tak lazim. Tapi, ia bukan penyair ketinggalan zaman, ia kini penyair kota. Seorang laki-laki yang mengubah gemerlap kota sekaligus boroknya menjadi suguhan kata-kata yang dinikmati banyak orang. Dulu, ia pikir, hidup di kota itu sumpek dan penuh oleh kubus-kubus yang mengekang seperti kekasih. Hidup tua di kota karena kemacetan yang bertubi-tubi. Hidup tua di kota dan menjadi tuli karena bising suara kendaraan yang melintas beribu-ribu-berjuta-juta kali. Namun, ia salah. Memang, sebagian benar; kemacetan, dan bising lalu lintas kota. Tapi selalu ada yang tersembunyi di balik gaun anggun dan nakalnya ibu kota. Selalu ada yang rahasia di balik kemolekan suatu kota. Dan ia menemukannya. Banyak yang harus ia keluhkan di kota ini, dan ia akan mengubahnya menjadi sajak cantik di koran-koran lokal.

Ia pernah membayangkan; puisinya sedang duduk manis di atas meja, di beranda istana, di samping secangkir kopi spesial yang dihidangkan untuk bapak presiden (kalau ia penyuka kopi dan sastra). Dan bapak paruh baya, yang hampir sama dengan usianya sekarang, akan membuka laman-demi-laman koran di depannya, mencari-cari rubrik sastra, dan menemukan puisinya yang cantik itu di sana. Ia akan menatap puisi itu lama dan jatuh cinta, tapi penyair itu takkan cemburu. Ia akan senang, karena artinya aspirasi itu telah sampai. Dan kota yang ia singgahi ini, tidak akan lagi menjadi tempat sekejam ibu tiri.

Arini pernah mendengar harapannya yang ini. Ah, Arini lagi. Perempuan itu selalu terkenang di dalam kepalanya. Barangkali, dialah si anak kecil yang pandai merengek itu. Meskipun ada puluhan perempuan, Arini tidak pernah hilang, seperti nama-nama lain yang ia sudah lupakan. Barangkali karena Arini sama gilanya dengan dirinya. Gila? Ya, dia jadi teringat sebuah percakapan di sebuah kedai kopi. Kedai kopi yang sama seperti yang ia datangi malam ini.

“Kau gila?” ejek Arini setelah mendengar harapannya; puisinya akan sampai di tangan pak presiden.

“Semua penyair itu gila, Ar. Hanya saja mereka pandai menyembunyikannya dalam puisi-puisinya.” penyair itu terkekeh.

“Kau bukan penyair, kau pengkhayal, sayang.” Arini juga tertawa, tapi masih mempertahankan ejekannya.

Arini memang begitu. Anak kecil yang hidup dalam kepalanya, dan penyair itu tak berkeberatan menjadi Ayah baginya. Dan, dia juga kekasihnya. Sebab, puisi-puisi itu adalah Arini, dan kota. Arini, dan kota. Dua hal yang terus ia sajakkan. Dua hal yang terus mengeram di kepalanya. Sampai entah.

Apakah aku penyair? Atau benarkah aku hanya pengkhayal? 

Ia membatin lagi. Keraguan lebih mampu membuatnya gila daripada kegilaan itu sendiri.

—-END—-

Depok, 11 Juli 2015

Lelaki Kesepian dan Seekor Anjing

“Tiada yang lebih setia selain kesepianmu sendiri. Bila kau menginginkan kesetiaan dan seorang teman sekaligus, maka rawatlah seekor anjing. Tiada yang dapat meragukan kesetiaan seekor anjing.”

Begitulah yang diresapi Sardjono semasa hidupnya. Kata-kata itu adalah petuah dari Ayahnya sebelum beliau pergi untuk merantau ke tanah surga. Pulang kampung bertemu si Maha Besar. Tempat segala-galanya bermula. Giginya bergemeletukan. Ia telah menghabiskan secangkir kopi buatannya sendiri. Itu merupakan ritual paginya, sebelum membaca koran harian, dan pergi ke taman komplek bersama Jacqualine.

Samar, bibirnya yang sudah mengkeriput karena usia, tersenyum kecil. Tubuhnya kemudian turun, membungkuk. Tangannya mencoba meraih kepala Jacqualine yang sedang duduk bersimpuh di kakinya dan ia membelainya lembut. Betina itu akan tersenyum malu-malu dan kegirangan. Kalau sudah melihat Jacqualine bahagia seperti itu, hati Sardjono menghangat. Mirip matahari pagi di luar yang membagi hawa hangatnya hanya kepada pagi. Begitulah rasanya kebahagiaan. Hangat. Tidak seperti kecemburuan yang seperti matahari siang. Terik, dan menyimpan banyak dendam.

Hari ini hari Minggu. Setiap hari Minggu adalah perayaan bagi Sardjono. Bukan karena hari libur, karena setiap hari adalah tanggal merah untuknya. Hari Minggu adalah harinya koran Minggu. Ia akan membeli beberapa koran dan melupakan membaca berita-berita di halaman depan ataupun halaman berikutnya. Tangannya yang semakin kurus tetapi masih kelihatan liat itu gesit menemukan rubrik favoritnya. Tempat di mana bahasa menjadi sarana berpergian. Ia bisa liburan ke mana saja dengan bahasa. Bahkan, kadangkala ia bisa menjumpai surga di sana, atau membayangi ia sedang berciuman bersama seorang kekasih di bawah rinai hujan di negeri sakura, tempat ia menjumpai mantan kekasihnya dahulu. Cerpen dan kumpulan puisi dihabisinya setiap Minggu pagi. Koran-koran itu ditelanjanginya satu-satu demi menemukan sisi puncak kenikmatannya di rubrik favoritnya itu. Setelahnya, ia seperti bocah SD yang disuruh mengumpulkan klipingan untuk tugas sekolah. Ia menggunting cerpen-cerpen itu satu-satu biar terlepas dari tubuh induknya, kemudian dengan hati-hati dan tangan bergetar, ia menempelkan secarik demi secarik potongan cerpen itu di tubuh bagian dalam jurnalnya. Bedanya, ia tidak lagi melakukan kegiatan pengklipingan itu untuk tugas sekolah, tetapi untuk dirinya sendiri. Dan mungkin, ya, untuk Jacqualine bila suatu hari Si Maha Besar menjemputnya ke tanah surga.

Sudah genap duaratus cerpen telah diklipingnya sampai hari ini. Dia tersenyum puas memandangi jurnal tebalnya penuh oleh karya-karya sastra lokal. Ia jarang menyukai buku-buku atau karya orang luar negeri, bukan, bukan, Sardjono bukan orang yang terlampau fanatik kepada negerinya sendiri, dan memegang teguh nasionalisme dalam jiwanya. Sardjono hanya menganggap, ketika ia membaca karya terjemahan, ia merasa gagal memahami isi cerita yang dimaksud penulis asalnya. Bahasanya kadang bertele-tele dan terlalu baku, Sardjono merasa tidak sedang menuju fantasi sastra, yang seperti ketika ia membaca karya-karya penulis lokal. Lagipula, pikirnya, ketika ia membaca cerpen lokal, asal Lubuklinggau, misalnya, ia merasa sedang berkenalan dengan negerinya sendiri. Baginya, buku adalah sebuah laut, kadangkala menjelma sebagai tiket keberangkatan menuju sebuah kota, dan ia hanya ingin menyelam dan menjelajahi negerinya sendiri sampai sedalam-dalamnya. Setelah itu, barulah Sardjono merasa penuh. Ia merasa telah berkunjung ke Lubuklinggau, ke Tanah Toraja, ke Pantai Lovina, atau tempat-tempat lain yang tak pernah dijejaki kakinya. Ia merasa kaya.

Selain cerpen, Sardjono juga mengoleksi klipingan puisi-puisi di jurnal yang berbeda. Bila jurnal tebal berisi cerpen-cerpen itu bersampul hijau lumut, jurnal untuk puisinya bersampul cokelat tanah. Dua-duanya dari kulit kuda, dan sama-sama dari mantan kekasihnya dahulu. Kadang ia merasa beruntung memiliki Jacqualine yang bukan seorang perempuan yang rewel, dan akan membakar semua benda-benda dari kekasihnya dulu, dan sekaligus menghanguskan kebebasannya. Ia juga bersukur pernah memiliki kekasih-kekasih yang berbaik hati telah menghadiahkan jurnal-jurnal bersampul kulit kepadanya. Ia menyukai buku jurnal, yang di dalamnya hanyalah kertas tanpa proses pemutihan sehingga warnanya menjadi kuning redup, dan terasa begitu sedih dan dramatis. Kertas-kertas polos tanpa garis-garis yang menghalangi kebebasannya melakukan apa saja pada buku jurnalnya. Ia tidak menyukai garis, sama seperti ia tidak menyukai pengekangan. Baginya, garis adalah bentuk pengekangan yang lain selain perempuan, dan pernikahan. Ketika ia menggunting kumpulan puisi karya Dedy Tri Riyadi, tangannya semakin bergetar, tetapi ini bukan karena usia, melainkan karena ingatan yang terbang ke masa lampau. Ia selalu merasa tergetar dan menghangat ketika menyentuh puisi, entah puisi siapa saja. Ia tiba-tiba saja mengingat Ayahnya, yang betapa seringnya membeli buku-buku puisi dan membacanya kala ia ingin tertidur. Selalu begitu ketika tanganya menyentuh puisi dan hendak mengguntingnya. Perasaan-perasaan seperti itu tidak akan terjadi ketika ia menempelkan potongan cerpen dalam jurnal bersampul hijau lumut.

Ada dua hal yang mengingatkannya kepada puisi. Pertama adalah masa kecil bersama Ayahnya, yang setiap malam mendongenginya sebuah puisi, bukan dongeng rusa atau kancil yang nakal. Kedua, ah, ia sangat ingin melupakan hal yang ini sebetulnya, hanya saja, setelah bertahun-tahun lamanya, bayangan yang ini tidak pernah terlepas dari ingatannya. Tameera. Gadis asia berkulit putih langsat, rambutnya hitam, lurus, dan lembut, alisnya lebat, tetapi matanya sedikit sipit, tungkainya panjang dan ramping, dan lehernya jenjang. Ia bertemu dengan Tameera di kota Tokyo, tempat di mana ia mengenyam pendidikan terakhirnya. Tameera adalah mantan kekasih terakhir yang begitu berbekas meninggalkan buih-buih kesedihan dan kerinduan yang begitu mendalam. Sampai saat ini. Ya, sampai saat ini. Dia adalah perempuan aneh pertama yang berhasil membuat Sardjono jatuh cinta. Perempuan yang tidak umum. Dia bukan hanya perempuan yang tidak umum, tetapi selain itu dia juga berkebangsaan Indonesia, tetapi besar di negeri Sakura. Keanehan Tameera adalah kelainan hormon berbelanja perempuan. Ia tidak seperti perempuan yang gila berbelanja pakaian, sepatu, tas, dan aksesoris lain yang berkerlipan. Pernah suatu kali, ia mengajak perempuan itu ke Shibuya, tetapi perempuan itu malah murung seharian. Ia sama seperti Sardjono, tidak begitu menyukai keramaian. Hanya saja, ia pikir, setiap perempuan sama. Menyukai berbelanja. Sepulang dari Shibuya, Tameera tidak berbelanja apa-apa. Aneh, bukan? Ia malah merayu Sardjono untuk mengajaknya ke toko buku atau perpustakaan di pinggir kota, dan menghabiskan banyak uangnya hanya untuk buku-buku puisi Sylvia Plath, Walter Scott, Oscar Wilde, dan Rabindranath Tagore. Itu kali pertamanya ia menyentuh puisi setelah kepergian Ayahnya yang tiba-tiba di Batavia, tanah masa kecilnya.

Tameera berhasil membuatnya kembali membaca puisi setelah tiga tahun lamanya tak berani membaca puisi karena takut menemukan dirinya sebagai pecundang yang tidur melingkar dan mengisapi jempol, kemudian merindukan Ayahnya yang telah pulang bertahun-tahun lalu. Sebagai laki-laki cengeng. Tetapi kali itu, kesedihan tumpah kepada Tameera. Ia berani menelanjangi kejujuran dan bekas-bekas masa kecilnya kepada Tameera. Ia menceritakan bagaimana Ibunya pergi meninggalkan dirinya dan Ayahnya yang melankolis itu bersama pria lain, yang katanya sangat ia cintai. Setelah perselingkuhan ibunya, ia tak pernah lagi memiliki sosok pengganti Ibu. Baginya, Ayahnya adalah Ibunya juga. Ia juga menceritakan tentang Ayahnya yang setiap malam mendongenginya puisi sebelum tidur. Ia pernah sesekali waktu, menemukan Ayahnya menangis tersedu-sedu ketika membaca puisi sendirian di sofa kamarnya. Saat itu ia terbangun dari tidurnya dan tak sengaja menemukan kejadian langka itu. Seorang Ayah yang kuat, menangis, merindukan.

“Begitu dalamnya rindu itu, Jo..” Tameera sering memanggilnya Jo, entah mengapa, ia menyukainya.

“Rindu itu seperti belati. Bisa melumpuhkan siapa saja. Yang lemah, ataupun yang kuat.” perempuan beraroma sakura itu tersenyum. Sardjono mendengar kata-kata itu begitu teduh.

“Sepakat denganmu. Barangkali, bukan hanya rindu, tetapi rasa kesepian. Rasa sepi bisa membuat ayahku yang begitu baja menjadi seperti kayu bakar yang sebentar lagi hangus. Ia menjadi begitu rapuh karena kesepiannya yang bertahun-tahun.” mata Sardjono menerawang.

“Mengapa ayahmu tidak menikah lagi?” tanya Tameera. Sardjono tersenyum, membayangi muka ayahnya.

“Ia lebih memilih anjing daripada perempuan. Belakangan, aku tahu, laki-laki yang membawa pergi ibuku adalah sahabat karibnya sendiri.” Sardjono tersenyum getir kepada udara di depannya. Membiarkan bibir Tameera yang merah delima itu terbuka karena terkejut. Laki-laki bertubuh kurus itu seperti berkaca pada kisahnya yang lalu. Lalu sekali.

Ingatan melemparnya ke sebuah sel-sel kecil masa lalu. Partikel-partikelnya membuat ia seperti melihat dan mengalami kembali kisah-kasih semasa sekolahnya bersama Riana. Perempuan Jawa yang sering dikepang dua dan memiliki senyum termanis di ingatannya. Perempuan pertamanya. Yang membuat ia tersenyum malu-malu kucing, dan berdebar-debar keras saat ada di dekatnya. Perempuan yang pernah menjalin kasih dengannya, lalu menikah dengan Kaedarmo, sahabat pembagi kisah-kisah suka dukanya. Itu terjadi dua tahun sebelum ia terbang ke Tokyo dan melunaskan pendidikannya di sana. Saat dikhianati begitu, Sardjono menginginkan Ayahnya ada di sampingnya, memeluknya, dan membagi kisah bersama, sebab kisah mereka bagai pinang dibelah dua. Mirip sekali seperti kembar identik. Ia merasa, Riana adalah sosok ibunya yang pergi dengan laki-laki sialan yang bukan lain sahabatnya sendiri. Tempat ia membagi suka dan dukanya.

“Aku ingin kamu lebih setia daripada sepi dan seekor anjing.” kata Sardjono kepada Tameera setelah melepaskan masa lalunya di telinga perempuan itu sepenuhnya. Ia telah mendengar kisah Ayah-Ibunya, dan Riana, si perempuan Jawa berkepang dua yang senyumnya amat manis. Sardjono berharap, setelah ia mengisahkan dua kisah pahit itu, Tameera tidak akan mengkhianatinya dan membuat dosa seperti dosa dua perempuan yang ia kisahkan.

Tameera hanya tersenyum menanggapi kata-kata Sardjono. Ia ingin menjadi yang lebih setia daripada kesepian dan seekor anjing, tapi ia takut apabila rasa seorang manusianya memupuskan keinginan Sardjono. Bagaimana pun, Tameera sadar, ia hanya manusia yang suatu waktu bisa melakukan kesalahan fatal, dan melukai hati siapa saja. Ia ingin tetapi takut. Dan ketakutannya menghinggapi segalanya. Ketakutan itu menjadi nyata senyata-nyatanya. Ia jatuh cinta. Lain, bukan kepada Sardjono, walaupun laki-laki kurus itu ialah kekasihnya dan sudah merajut cinta kasih hampir selama tiga tahun lamanya. Perempuan itu jatuh cinta pada Kuriyoshima, dan laki-laki berkebangsaan Jepang itu tak lain ialah teman dekat Sardjono. Dari Sardjono ia tahu, ia tidak lagi memiliki sahabat karib setelah Kaedarmo itu, tetapi sejauh ini Kuriyoshima adalah teman yang paling dekat dengannya di antara yang lain-lain. Dan sialnya, bukan hanya jatuh cinta, tetapi ia justru tergila-gila dengan Kuriyoshima yang rupawan dan pembawaannya yang memikat jiwanya.

Ia merasa lain bila berhadapan dengan Sardjono dan Kuriyoshima di saat yang bersamaan. Di lain sisi, ia mencintai Sardjono dengan segala kepintaran dan ketabahannya menghadapi dirinya yang menurut Sardjono, aneh. Tapi seperti koin, di sisi lainnya justru ia terpikat dalam jerat pesona keelokan Kuriyoshima.

“Kalau aku pulang ke Batavia, aku mau turut serta membawamu..” kata Sardjono suatu hari di sebuah toko buku di pinggir kota Tokyo.

“A-apa? Ke Batavia?” ini waktu yang baik, pikir Tameera. Sardjono mengangguk sambil tersenyum.

“Aku akan pulang bulan depan.”

“Tidak akan kembali ke sini lagi?” Temeera menggigit bibirnya. Berharap-harap cemas.

“Pasti setiap tahun kita akan pulang kemari, mengunjungi kedua orangtuamu, Mee(Mi)” Sardjono tersenyum lagi. Diam-diam dada Tameera menghangat. Tapi ia merasa tidak yakin akan melanjutkan hubungan ini. Kuriyoshima benar-benar telah menghancurkan pikirannya. Perempuan itu terdiam beberapa menit. Pandangan matanya mengambang. Buku di hadapannya tidak lagi dibaca dan tiba-tiba menjadi tidak lagi menarik di matanya.

“Jo, aku takut, tidak bisa lebih setia daripada kesepianmu. Bahkan daripada seekor anjing.” ungkap Tameera dingin.

“Mengapa berbicara begitu?” tangan Sardjono terangkat ke atas, menyelipkan sebuah buku puisi ke dalam raknya.

“Entahlah, aku merasa…” Perempuan itu menggantungkan begitu saja kalimatnya. Laki-laki yang dipanggil ‘Jo’ sedang menunggu.

“Lupakan saja, Jo.” lanjut Tameera sambil melanjutkan membaca buku yang dipegangnya. Tapi pikirannya melayang-layang, seperti selendang yang terbang terbawa angin pantai dan menuju ke entah. Lalu kemudian berlabuh dengan sendirinya kepada seorang laki-laki berkebangsaan Jepang itu. Kuriyoshima.

Hari itu ialah hari terakhir ia bertemu Tameera. Sardjono tidak tahu apa yang terjadi sampai ia pulang ke Batavia dan meninggalkan Tokyo tanpa membawa serta perempuan tinggi semampai yang cantik itu. Ia pulang membawa sekoper baju-baju, buku-buku puisi, buku jurnal bersampul cokelat tanah pemberian dari Tameera, dan kenangan bersama perempuan itu. Dua bulan kemudian, perempuan itu memberinya sebuah kabar sukacita, tetapi duka baginya. Ia mengirimkan kartu pos permintaan maaf. Di kartu pos itu ada gambar Tameera, dirinya, dan laki-laki yang sangat dikenalnya. Kuriyoshima. Teman sejawatnya di Tokyo. Di kartu pos itu, Tameera menuliskan penyesalannya. Dia mengutuk dirinya sendiri sebagai perempuan yang melakukan dosa seperti dua perempuan masa lalu yang telah meninggalkannya. Ibunya, dan Riana. Kartu pos itu sekaligus mengatakan bahwa ketakutan yang selama ini digenggam Tameera benar. Perempuan cantik yang dicintainya, untuk kedua kali, jatuh di pelukan orang terdekatnya sendiri. Kaedarmo, dan Kuriyoshima. Dua laki-laki yang berbeda perangainya, tetapi sama-sama memiliki keberuntungan, dapat mengambil apa yang ia inginkan. Dulu ia menyalahkan Kaedarmo sepenuhnya atas pernikahannya dengan Riana. Tapi kini tidak lagi, ia mulai menyalahi dirinya sendiri dan takdir yang iakenakan.

“Tiada yang lebih setia selain kesepianmu sendiri. Bila kau menginginkan kesetiaan dan seorang teman sekaligus, maka rawatlah seekor anjing. Tiada yang dapat meragukan kesetiaan seekor anjing.” Ia teringat petuah Ayahnya lagi. Kini ia mulai merindukan ayahnya. Ayah yang tabah menghabiskan masa tuanya bersama kesepian dan seekor anjing jantan bernama Debong.

Ayahnya benar. Tiada yang lebih setia daripada kesepianmu sendiri. Bahkan, mautpun tidak dapat mengambil kesepianmu itu dari genggamanmu. Sebab, di liang kubur nanti, kau hanya akan berdua saja dengan kesepianmu. Sardjono mulai mengartikan kesepiannya sendiri. Kesepian yang tidak pernah pergi sejengkalpun darinya, bahkan ketika ramai mencoba merebutnya dari Sardjono. Kesepian tidak pernah lepas. Ia selalu di samping Sardjono. Setia seperti anjing. Seperti Jacqualine, anjing betina kesayangannya.

Tak terasa, air matanya menetes, di atas puisi berjudul Aku Membayangi Diri Sebagai Delima Merah, milik Dedy Tri Riyadi. Ia terpaku pada kata-kata di sana, aku tak bisa membayangkan dengan benar; paruh-paruh itu atau pisau lebih nyeri dari sepiku. Tetapi ia merasa sepi itu bukanlah pisau, ia lebih mirip seorang karib yang tidak akan pernah mengkhianatinya. Pengkhianatan dan kebohongan, baginya, lebih mirip paruh-paruh elang yang akan mencabik isi dagingmu, atau pisau belati yang nantinya menusuk dan mengorek-ngorek punggungmu.

Tangan kurus dan keriputnya masih setia melepas kumpulan puisi-puisi itu dari tubuh induknya, meskipun masih bergetar dan mulai berkeringat. Waktu dan kesepian telah membuatnya semakin rapuh dan semakin kuat. Lalu ia menempelkan puisi itu ke dalam buku jurnal bersampul cokelat tua, dari mantan kekasihnya dulu, yang ia cintai.

—END—

Depok, 08 Juli 2015

Puisi Elena

Perempuan di dekat lampu taman yang tidak menyala itu sedang menarik-narik rambutnya. Seperti biasa, dia mengatakan hal dan kata-kata yang serupa setiap ingatannya kembali kumat. Senyum ayunya yang sedikit keriput karena usia itu luntur sejadi-jadinya oleh suatu karena hal. Masa lampau adalah biang keladi segalanya bermula. Kepalanya berdengung-dengung seperti ambulans. Bedanya, bunyi yang ada di kepalanya bukanlah suara ‘ngiuuung-ngiuuuung’ seperti suara ambulans biasanya. Di kepalanya, bunyi dengung-dengung itu berubah menjadi suara bising bisikan hatinya sendiri. Patah, duka, dan kesedihan yang diputar-putar ulang di kepalanya. Kadang, membuat kepalanya sakit dan ia akan menjambak-jambaki rambutnya yang tidak pernah disisirnya selama satu minggu yang lalu. Suster yang baik hati akan datang kepadanya dan menenangkannya saat ia mulai kumat dan berteriak-teriak lagi. Perempuan baik itu akan membawakannya sisir rambut warna hijau daun, warna kesukaannya agar ia mau disisiri oleh Suster itu. Ya, perempuan malang itu ialah pasien Rumah Sakit Jiwa di daerah Jakarta Barat. Sudah dua tahun belakangan ini, ia menjadi penghuni di sana.

Namanya Elena. Perempuan yang masih lumayan muda. Usianya baru menyentuh angka ke duapuluh-sembilan, tetapi wajahnya sudah dihiasi keriput di kanan-kirinya. Matanya redup dan sayu. Rambut yang hanya sebahu itu lusuh karena jarang disisir dan sering terkena sengatan matahari. Meski begitu, ia tetap cantik. Bibirnya menggoda warna merah alami, dan di bawah bibirnya ada tahi lalat yang membuat dirinya terlihat seksi setiap kali tersenyum. Beberapa laki-laki pernah mendaratkan bibirnya di sana, dan mereka berhasil tergila-gila dengan itu. Hidungnya menjulang tinggi, berpadu dengan alis yang tipis tetapi memanjang, membuat laki-laki akan mengatakan kalau gadis itu seperti gula jawa. Manis. Dulu, kulitnya segar. Kuning langsat. Tetapi sekarang, lihatlah, kulitnya seperti bulan yang malas mengeluarkan sinar kuning emasnya. Pucat pasi.

Elena pernah mencintai bibir dan matanya. Masa lampau, bagi Elena adalah masa-masa yang ia ingin lupakan seumur hidup sebagian, dan sebagiannya lagi ingin ia ingat sampai ia lupa bernapas. Mata dan bibir Elena adalah bagian dari masa lampau yang ia cintai. Ia pernah membakar dadanya sendiri dengan tatapan matanya yang genit kepada seorang laki-laki. Ia pernah menemukan tubuhnya mendidih saat bibirnya melumat bibir laki-laki itu. Laki-laki yang sama. Laki-laki yang, katanya, ingin ia ingat sampai lupa bernapas. Laki-laki yang ia cintai. Namanya tenggelam dalam kenangan-kenangan yang ia simpan untuk ingatannya sendiri. Ia melupakan nama laki-laki itu, tetapi tidak dengan aroma di tubuhnya, bau bibirnya yang bekas menghisap tembakau, dan takar kelembutan bagaimana laki-laki itu pernah mencumbu dirinya di kamar kecil yang pengap. Tapi baginya, itu ialah semacam surga kecil. Sebab ia belum pernah merasa bahagia sebelum bersama laki-laki itu. Laki-laki yang ia lupa namanya. Laki-laki yang ia cintai.

Masa kecil perempuan itu tidak pernah betul-betul baik. Ibunya mati setelah mati-matian memperjuangkan hak hidup Elena. Ia tumbuh kembang menjadi gadis yang cantik bersama bapaknya. Iblis yang mengaku malaikat. Bapaknya sebelumnya sangat menyayangi Elena seperti seorang anak sungguhan. Tetapi nafsu berahi melumat habis jiwa kebapakan dari Bapaknya. Suatu hari, ketika Elena masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, bapaknya mendatangi anaknya yang sedang berganti baju ketika pulang dari sekolah. Pria paruh baya itu tenggelam dalam berahinya karena tak tahan dengan waktu yang selama ini mengekang naluri laki-lakinya. Rindu bersetubuh itu tidak bisa tertahankan lagi. Elena tidak lagi disayang sebagai seorang anak sungguhan. Siang itu, Bapaknya menyayangi dia sebagai objek kepuasan. Setelah siang itu, dan seterus, seterusnya, tidak ada lagi Elena anak Bapak. Adanya, Elena, objek fantasi bapak.

Bibirnya tidak mau pernah terbuka untuk menceritakan kelakuan bapaknya semasa hidup sampai ia dikubur di liang lahat karena serangan jantung. Biarlah ia sendiri yang tahu. Biarlah selama ini dia menyimpan bangkai bapaknya di balik ketaatan bapak kepada Tuhan. Siang itu, Elena diancam untuk tidak memberi tahu apa-apa tentang kelakuan bapaknya, atau ia akan mati dibunuh bapak kandung sendiri. Elena ngeri membayangi pistol bapak membuat kepalanya meledak. Sebelum siang itu, sebelum Elena jadi objek fantasi bapak, bapak adalah seoran perwira yang dipecat tidak hormat. Jadi, Elena diam saja. Seperti kuncup bunga yang mengatup, tidak pernah mekar. Itulah bibir Elena. Selalu bungkam, jarang bicara, tersenyum, dan jadi pemurung. Masa lalunya hitam. Yang putih hanyalah hatinya yang kemudian menghitam sendirinya. Hati yang lapang itu, kini gelap.

Selepas kepergian Bapak, Elena dilema. Tidak punya uang lagi untuk menghidupi dirinya sendiri. Tak ada makanan untuk menghidupi perutnya. Selama ini, bapaknya yang memberi makan dari uang hasil judi, atau hutang kesana-kemari. Ditengah kebingungan yang melanda, Lolita, teman sepermainannya yang sudah tinggal dan hidup di kota, datang menawarkan jalan pintas baginya. Elena tergiur dengan kata-kata Lolita, seolah kini hidup ada dalam genggamannya. Hanya tinggal enak, kemudian mengantongi segepok uang untuk membeli kebahagiaan. Elena ingin bahagia. Ya, hanya itu dari selama ini yang ia inginkan. Dengan cara gampang seperti itu, istilahnya, tinggal ngangkang, dapat duit, Elena akhirnya mengiyakan untuk mencicipi tinggal di kota dan menerima kesemerawutan selanjutnya.

Tubuh Elena ‘terjual’ limaratus ribu rupiah di Ibu kota. Gadis pemilik mata nakal, bibir menggoda, dan payudara sedikit di atas rata-rata itu menarik hati seorang pegawai kantoran yang menggunakan ‘jasa’ Elena sebagai pemuas nafsu. Ternyata, pikirnya, banyak juga yang seperti bapak. Ia jadi teringat bapak. Masa lampau yang kelam itu, yang ingin ia lupakan seumur hidup. Bagian yang ini juga ingin ia lupakan. Seumur hidup.

Suatu malam, di malam Minggu, ia yang sudah lihai menangani laki-laki, kedatangan seorang tamu. Tamu yang hanya datang sekali seumur hidupnya. Laki-laki yang menyenangkan. Laki-laki yang kemudian membuatnya berhenti menggunakan seks sebagai profesi tetap. Laki-laki itu bertubuh tinggi dan agak tambun, rambutnya panjang sampai menyentuh leher, ia selalu mengenakan topi bundar warna hitam. Laki-laki ini mengingatkan ia akan masa kecilnya, ketika bapaknya sering menyenandungkan lagu ‘topi saya bundar’. Tiba-tiba ia rindu bapak lagi. Laki-laki itu, bukan laki-laki biasa. Ia biasa dibilang seorang penyair cinta. Rayuannya nakal, tetapi kadang kata-katanya mengundang kesedihan. Percaya atau tidak, ia bercinta dengan Elena sambil berpuisi. Elena terbuai oleh kata-kata dari laki-laki itu. Hanyut ke dalam pusara kata-kata. Laki-laki itu, dalam puisinya, menceritakan tentang cinta, kerinduan, masa lalu, masa kecil, kesedihan, dan dosa-dosa. Membuat Elena merenung seusai bercinta.

“Kenapa kamu datang ke sini? Katamu, ini lubang dosa..” ia bertanya sendu. Laki-laki itu sambil mengenakan kaos polo-nya, tersenyum. Hangat. Sehangat kata-katanya.

“Aku ingin membuat puisi…” jawabnya tenang.

Elena tertawa sinis. “Haruskah dengan bercinta denganku?” laki-laki itu diam. Kemudian tersenyum.

“Aku tahu hatimu lembut, Elena.” ia mengusap tangannya lembut. Perasaan hangat bedesir di dada Elena.

“Aku tidak mengerti maksudmu. Tetapi jujur, aku baru pertama kalinya bercinta sambil mendengarkan kata-kata seindah itu..” mata Elena menerawang.

“Kamu tahu? Biasanya, laki-laki yang bercinta denganku, ia akan melenguh seperti kuda kelelahan.” Elena tertawa. Ia terkejut. Baru kali ini ia tertawa sungguhan dengan ‘pelanggan’nya.

“Menurutmu kata-kata itu indah?” laki-laki itu bertanya. Tatap matanya sendu. Elena mengangguk sambil tersenyum sungguhan.

“Kalau begitu, aku benar. Hatimu lembut, bukan?” ia tertawa.

“Kata-kata itu seindah dirimu, Elena..” laki-laki itu tersenyum. Elena menggeleng.

“Percayalah. Omong-omong, namamu juga indah.” laki-laki itu mengerling sebelum bangun dari ranjang yang didudukinya.

“Terima kasih, Elena. Aku bahagia.” laki-laki itu berkata bahagia, bukan puas, seperti laki-laki lainnya. Elena terdiam. Tercenung sebentar. Ia merasa dihargai. Sangat dihargai.

Laki-laki itu sudah melenggang pergi dari kamar itu. Elena masih di dalam, tubuhnya masih belum terpasang sehelai benang pun. Pikirannya melayang-layang. Bagaimana bisa ada laki-laki seperti dia, pikirnya.

“Tidak, terima kasih…” bisik Elena pelan.

***

Dua tahun berlalu. Elena telah mengubur cerita-cerita dalam gang bermulut kecil, dan gelap itu. Lubang dosa, kata laki-laki itu. Laki-laki yang ia cari belakangan ini. Penyair yang membuat dia mulai mencintai puisi. Laki-laki yang menamparkan kenyataan, dan menghamparkan cahaya dalam dirinya. Tetapi ia tidak pernah menemui laki-laki itu lagi. Tidak pernah sama sekali.

Setelah lepas dari jerat dunia malam, perempuan itu mulai bekerja sebagai buruh. Uangnya digunakan untuk membiayai pendidikan selanjutnya. Ia kuliah. Kadang, bila ada uang tambahan, atau sisihan uang, ia menggunakannya untuk membeli buku-buku puisi. Untuk mengenang laki-laki itu. Laki-laki yang pernah menidurinya sambil mendongeng. Tidak asal kelon, lalu enak. Laki-laki yang, bagaimana pun telah menyadarkannya, kalau ia berharga. Seperti kata-kata dalam puisi. Laki-laki itu benar-benar membuatnya penuh, dan membuatnya bersyukur kepada Tuhan. Ia telah berbaik hati mengirimkan malaikat di tengah sarang penuh luka.

Hari-hari telah berganti wajah, tahun-tahun menua, dan zaman semakin berjiwa muda. Ia telah lamat-lamat melupakan penyair itu, yang berhasil membuatnya cinta kepada puisi-puisi. Dan Elena tengah menemukan cinta yang baru. Seorang vokalis band akustikan, yang lagu-lagunya sendu, menyentuh, dan puitis sekali. Mengingatkannya pada penyair itu. Penyair yang tak sempat ia simpan namanya dalam memori ingatan. Kali ini, ia tidak ingin begitu saja melalui cinta yang sempat ia lewatkan bersama penyair itu. Bagaimana pun, laki-laki vokalis band akustikan lagu-lagu sedih ini harus ia taklukan. Ia begitu menggilai laki-laki itu, dan pesonanya di atas panggung. Mata laki-laki itu sendu, mirip mata penyair dari masa lalu. Rambutnya panjang menyentuh leher, tetapi ia tak mengenakan topi. Tapi tak apa, bibirnya sama-sama mengeluarkan kata-kata yang memikat.

Laki-laki itu bernama Gandru. Gandruasta. Nama yang kini tak diingatnya lagi. Mereka menjalin cinta hingga beberapa bulan lamanya. Mereka bercinta berkali-kali. Dan kali ini, Elena melakukannya dengan cinta, bukan terpaksa. Elena melakukannya dengan sepenuh-penuhnya hati. Ciuman-ciumannya membuat Gandru kewalahan. Ia memang sudah terbiasa mencium perempuan, tetapi Elena berbeda. Ia liar, tetapi lembut. Gandru tidak mengerti. Sungguh, ia terbuai, tetapi ada dalam benaknya yang tidak merasakan apa-apa, selain nafsu berahi. Permainan yang tak seimbang. Gandru tahu, tapi ia membiarkannya. Elena mencintai Gandru, ia tahu betul. Tetapi Elena tidak tahu, ini hanyalah sebuah permainan Gandru. Hanya permainan.

Di sebuah malam, entah keberapa kalinya, setelah mereka bercinta, Elena merayu Gandru lagi. Tetapi Gandru menanggapinya dingin. Laki-laki itu tahu, ia harus mengakhiri permainannya, dan perempuan itu tidak tahu, kalau sebentar lagi, kebahagiaan itu, surga kecil itu akan musnah.

“Elena, dengar, ini tidak akan berjalan kemana-mana.” ujar Gandru dingin setelah dilumat bibirnya oleh perempuan yang duduk di depannya.

“M-maksudmu, apa Dru?”

“M-maksudku…hubungan ini, tidak akan pernah ada ikatan.” tandasnya.

“Tapi…Dru, aku…”

“Cinta? Kamu percaya cinta, Na?” Gandru tertawa sinis.

Hati Elena mencelos. Kata-kata Gandru bagai pedang yang menembus lukanya yang basah. Melukai lagi hatinya. Hati yang dulu kuat, membatu, kini rapuh menghancur. Tidak ada harapan lagi baginya. Ia terlalu luka untuk tidak menyangkut pautkan dan memadukan kisah-kisah hidupnya dengan masa kecilnya. Masa lampau yang tak mau diingatnya. Hidupnya, baginya, adalah miniatur kesedihan dan wujud ketidak adilan. Kebahagiaan yang diimpikannya sejak kecil, pupus. Harapan-harapan tiba-tiba sekarat dan mati di tengah jalan. Ingin ia mengakhiri segalanya, tetapi ia ingat pada penyair masa lalu itu; kamu berharga, Elena. Ya, setidaknya itu yang menguatkan hati Elena.

Berbulan-bulan lamanya ia mendekam seperti orang gila. Baginya, Gandru ialah kebahagiaan terakhir yang Tuhan berikan padanya. Maka, ia menulis surat-surat untuk Gandru. Surat-surat cinta yang dibuatnya sambil tertawa, atau menangis tersedu-sedu. Di akhir catatan suratnya, ia menyisipkan sebait, dua bait puisi cinta. Kadang, mengutip dari koleksi buku-buku puisi karya Sylvia Plath, Lang Leav, atau Kahlil Ghibran. Kadang, ia membuatnya sendiri. Puisi, bagi Elena adalah saudara kembarnya. Kesedihan yang dimiliki puisi, kadangkala sama dengan kehidupannya. Ia merasa satu nasib, sepenanggungan.

Puisi membuatnya terobsesi. Berbulan-bulan, berganti tahun-tahun lagi, ia tetap menulis surat, menulis puisi, dan dikirim ke alamat seseorang yang sama. Meskipun orang itu tak pernah membalas. Bagai psikopat, ia menyelinap pagi-pagi buta, ke depan pintu kos Gandru, atau menyuruh orang untuk menyelipkan surat cinta itu ke dalam kamar kos Gandru yang letaknya tak jauh dari gerbang, maka mudah dijangkau. Elena menggilai Gandru, dan ia pikir, cinta itu tidak pernah berhenti. Elena malah ketakutan, bila ia menemukan dirinya tidak bisa menulis puisi. Ia merasa tidak normal. Ia merasa dalam dirinya ada jiwa yang suwung. Kosong melompong. Ia merasa ketakutan apabila masa lampau itu merenggutnya kembali ke lubang dosa.

Suatu pagi, Elena terbangun, dan menemukan dirinya sebagai puisi cinta. Ia mendadak menggubah dirinya menjadi puisi yang dinyanyikan Gandru, ataupun diucapkan penyair masa lampau itu kepada seorang perempuan yang telanjang di sebelahnya. Ia mulai melepas bajunya satu-satu. Menanggalkan rasa malu, dan akal sehatnya. Menulis surat untuk Gandru, dan menulis puisi. Lalu mengendap-endap ke gerbang rumah kos tempat Gandru tinggal sementara, Tetapi sesuatu yang tak diduga datang, ia dilempari batu dan diusir orang-orang. Mereka melempari Elena pakaian, batu, ataupun ludah. Ia dihadang orang agar pergi dari gerbang rumah kos tempat Gandru tinggal.

“Pergi kamu, dasar orang gila!” teriak orang yang mengusirnya itu. Ia tak mengerti sama sekali. Pikirnya, ia hanyalah sebuah puisi yang memiliki kaki, dan akan memberikan tubuhnya seutuhnya untuk Gandru. Tapi ia tidak bisa. Ia dihadang orang-orang yang beringas dan melempari benda-benda ke sekujur tubuhnya.

“Aku puisi! Aku puisi! Aku puisi!” Elena berteriak-teriak. Sepanjang jalan. Tertawa terbahak-bahak. Lalu menangis tersedu-sedu.

“Baca aku! Baca! Aku puisi!” Elena terkekeh. Ia mendengar dirinya tertawa bahagia, tapi tidak merasakan apa-apa.

Elena tidak mengerti.

Ia tidak pernah mengerti mengapa, dan ia tidak pernah ingat, bagaimana ia bisa berada di sini. Di lampu taman rumah sakit jiwa ini.

“Aku puisi, aku puisi, aku puisi…” katanya pelan. Ia tertawa, tetapi dalam matanya tidak ada kegembiraan.

“Iya, iya, kamu puisi. Sekarang sarapan dulu, ya.” Suster itu tersenyum sambil menggandeng tangan Elena.

—-END—-

Depok, 7 Juli 2015

Cerita Semalam Suntuk

Namaku Gandru. Seingatku, aku masih berusia tiga puluh-an saat ini. Tapi mulut orang-orang berdengung-degung di telingaku berdenging-denging seperti suara jangkrik di malam hari. Mereka berdesis-desis seperti mulut ular berbisa. Apa yang bisa mereka banggakan dari diri mereka jika dibandingkan denganku? Mereka bilang, aku gila? Hah? Apa mereka pikir, mereka waras? Hah? Ha ha ha ha ha…. Perempuan itu yang gila. Aku tidak. Ya, aku tidak. Mana mungkin, lelaki sepertiku, mantan vokalis band yang tidak begitu terkenal di kota, tetapi digandrungi banyak wanita ini tidak waras? Dan mereka bilang apa hah? Aku gila? Ha ha ha ha ha… suara mereka berdenging-denging mirip suara laron. Eh, tetapi laron tidak punya suara ya? Ya, pokoknya mereka sering berkerubung di dekat lampu-lampu jalan, di warung remang-remang dekat taman, dan di bangku dekat taman itu. Mereka membicarakan aku. Ah, pih! Kalau aku gila, aku tidak mungkin menjadi penting dan dibicarakan banyak orang. Benar kan? Iya kan? Ha ha ha ha ha…

Aku mendengar diriku sendiri tertawa entah karena apa, dan dengan siapa, tetapi aku tidak peduli, aku hanya ingin tertawa tanpa memikirkan apa-apa. Kau tahu? Terkadang orang harus mengosongkan pikirannya hanya untuk tertawa. Pikiran-pikiran kadang-kadang seperti batu yang menghantam keras lego-lego yang pernah kususun di masa kecil. Setelah aku tertawa, aku mendengar desis-desis ular, ular yang bisa bicara itu berdesis-desis. Tetapi anehnya, aku paham apa yang ular itu desiskan, dan aku tidak peduli.

“Eh, ada orang gila..” bisik si perempuan kepada laki-laki yang sedang rebah di bahunya sambil memegang handphone. Ah, perempuan itu mengingatkan aku pada Diana… Ah, mengingat dia, malam jadi begitu kusut. Pikiranku jadi semerawut. Awut-awutan, berantakan. Memang sudah begitu kan, setelah dia pergi, dan memilih menikah dengan pria barunya. Ha ha ha ha..entah kenapa sekarang aku jadi merasa sedih. Semua ini berawal dari perempuan gila itu. Ah, keparat!

Diana. Dia perempuan paling istimewa setelah ibuku. Dia memang tidak pandai memasak sayur asam kesukaanku, merajut baju hangatku, melukis potrait wajahku ketika masih umur balita, dan memberiku nasihat dan petuah yang panjang-panjang. Dia hanya perempuan yang gemar menulis puisi-puisi sendu untuk kujadikan lagu band-ku. Aku tidak menamainya band, sih.. lebih mirip kelompok musik akustikan yang senang manggung dari kampus-ke-kampus. Lirik-lirik sendu dari lagu kami yang diciptakan oleh Diana digilai muda-mudi galau atau yang sedang patah hati. Kata-kata yang ia ciptakan begitu menusuk perih rongga batinku. Kesedihan yang tak bisa dijabarkan oleh apa-apa. Entah, aku mengibaratkan kumpulan puisinya itu sebagai perempuan-perempuan bermata sendu, yang sama dengan miliknya. Sepasang mata sendu yang begitu meneduhkan. Seperti mendung. Kabut-kabut yang ngelangut di langit itu seperti kesedihan-kesedihan yang ia simpan sejak lama, menyempurnakan mata sendunya, yang bagiku amat cantik.

Sebelum dia menjadi pacarku, Diana adalah temanku. Teman baikku. Kami tidak pernah terpikir akan menjalin sebuah hubungan lebih dari teman saat kami bersama. Tapi aku memang sudah menyukainya entah sejak kapan, itu tidak pasti, dan tidak begitu penting. Yang penting adalah dia mampu menjelma sebuah rem ketika diriku menjadi motor liar yang kebut-kebutan di jalan raya. Dia adalah penghenti semua kegilaanku. Dia adalah tempat aku mengakhiri petualangan liar seorang laki-laki. Dia tempatku berhenti mencari. Sebelum dia jadi pacarku, aku adalah laki-laki beringas, bahkan bisa dikatakan brengsek, yang tidur dengan banyak wanita. Cinta tidak pernah membuatku tersentuh untuk membawanya ketika sedang dilanda nafsu berahi di dalam diriku. Tidak pernah ada cinta, begitulah yang kubawa sejak orangtuaku bercerai saat umurku menginjak remaja. Dan sebelum ini tidak ada cinta dalam persenggamaanku dengan banyak wanita, termasuk Elena.Si perempuan gila itu, benar-benar gila!

Aku ingin menceritakan bagaimana aku mencintai Diana terlebih dahulu sebelum kuceritakan tentang Elena, si perempuan gila. Sudah kukatakan, Diana adalah rem disaat aku menjadi motor yang ugal-ugalan di jalan. Perceraian kedua orang tua-ku yang tak pernah kuduga dan kuharap sebelumnya telah membuat Gandruasta kecil yang baik menjadi remaja nakal. Setelah perceraian ayah-ibuku, aku tinggal di rumah nenek. Orang tua-ku entah ke mana, aku tidak tahu lagi. Betapapun aku merindukan mereka, mereka tidak pernah datang, bahkan hingga saat ini. Saat nenekku sudah mati, dan aku yang waktu itu tinggal sebatang kara, menjadi pemuda tanggung yang kehilangan pegangan sama sekali. Untungnya, aku bertemu dengan teman-teman se-bandku; Roy, Rudi, Gon, dan Diana. Mereka-lah yang menumbuhkan bakat seniku. Diana lah yang pertama mengatakan, suaraku bagus, mendayu-dayu, dan bergetar. Ia mengaku sempat meleleh mendengar suaraku yang sangat laki-laki, katanya.

Suatu hari, saat kita bercinta di kamar kos Roy, Diana memuji suaraku. Katanya, suaramu sexy, Dru, sambil mengerling nakal dan menciumi bibirku dengan gemas. Dru adalah panggilan kesukaannya kepadaku. Ah, Diana, betapa kini semua sudah terlanjur menghilang dari kehidupanku. Jauh, dimakan waktu yang rakus itu. Ha ha ha ha. Waktu. Aku membenci mahkluk itu. Dia lah yang mengambil kasih sayang kedua orangtua-ku, nyawa nenek dan kakek, Gandruasta kecil yang baik, dan juga langkah kaki Diana yang pergi. Semuanya perbuatan waktu yang rakus. Kurasa, dia begitu membenciku hingga segala yang kupunya dilahapnya sampai habis tak bersisa. Sekarang, aku masa bodoh dengan kehadiran waktu. Biar saja, biar dia tahu rasa, bagaimana rasanya diabaikan dan tidak dicintai. Ha ha ha ha ha…

Oh, iya aku lupa menceritakan siapa Elena, dan mengapa aku membencinya. Ya, karena perempuan itu gila! Ha ha ha ha ha… Ya, perempuan itu pernah tidur denganku beberapa kali. Dia memberikanku yang terbaik dari yang ia punya. Ciuman terbaik, lumatan bibirnya yang lembut dan penuh kasih, dan permainan terliar yang pernah kurasakan. Elena pernah membuatku tergila-gila sebentar. Ya, karena aku hanya menggilai caranya bersetubuh denganku. Perempuan itu benar-benar panas di ranjang, dan setelah puas, kami merokok berdua dan tidak membahas apa-apa lagi, seperti tidak terjadi apapun. Tapi ia sering menatapku dan mengatakan hal-hal romantis. Ya, sangat romantis. Kupikir, dia hanya seorang perayu ulung yang hebat di ranjang, tapi ternyata aku salah. Elena mencintaiku. Ya, dia mencintaiku. Iya, Elena, perempuan gila itu!

Aku ingat, malam yang dipenuhi asap rokok itu, pukul dua dini hari. Setelah semua selesai, dan keringat di tubuh kami berdua sudah hampir mengering.

“Na, mengapa ketika bercinta denganmu, aku menjadi begitu penuh?” kataku tak sengaja merayu. Dia tersenyum nakal. Tetapi matanya sayu, meski bagiku sepasang mata itu lebih mirip senja yang terbakar merah daripada mendung seperti mata Diana.

“Aku melakukannya dengan cinta, kau tahu?” katanya sambil mengerling genit lalu menyemburkan asap rokoknya ke udara dan mulai melumat bibirku lagi.

“Dru, aku mencintaimu..” bisiknya. Kupikir, semalam sebelum kami bercinta dia mabuk dulu, tetapi aku tidak melihat boto-botol alkohol di kamarku. Dan matanya… Mata itu mengingatkanku dengan matahari yang tenggelam di pantai ketika aku berlibur bersama kedua orangtuaku dahulu. Mata itu…mengingatkanku akan masa kecilku. Yang bahagia. Aku hampir menangis mengenang masa kecilku. Tetapi kau tahu, senja tidak selalu membahagiakan, kadang ia menyiratkan sebuah pesan menyedihkan tentang kehilangan, dan kedatangan yang singkat. Dan aku melihat itu pada mata Elena. Sepasang mata senja.

“Kamu mabuk?” tanyaku memastikan. Dia menggeleng, matanya masih berbinar-binar. Aku kewalahan menanggapinya.

“Ka..kamu serius?” dan kau tahu? Elena mengangguk dan ingin menciumi bibirku lagi. Aku menahannya. Cukup. Hubungan ini tidak akan sampai ke sana. Aku mengatakannya begitu pada dia, dan bibirnya bergetar. Ya, bibir yang biasa melumat bibirku dengan lembut kemudian beringas kemudian lembut lagi itu bergetar hebat. Ia menahan tangis yang memburu napasnya. Dan matanya…matanya…senja itu telah padam. Ia benar-benar kelihatan sedih. Aku sedikit merasa bersalah. Bersalah karena melukai hati perempuan. Perempuan yang mencintaiku, bukan hanya tubuhku atau ketenaranku yang tak seberapa. Tidak seperti perempuan-perempuan sebelumnya.

Ia pulang dengan mata sembab, dan tidak berbicara apa-apa lagi padaku. Dan kami tak bertemu selama hampir tiga bulan. Tiga bulan berikutnya, aku sudah bersama Diana. Aku memang menyukai perempuan itu sejak ia memuji suaraku dan menjadikanku vokalis band akustikan itu. Lalu Diana yang membuatkan lagu-lagu sendu band akustikan, yang kami namai Perindu. Melankoli sekali, bukan? Karena itu banyak wanita yang menggilai band kami, terutama aku yang menjadi vokalisnya. Ibarat di film, aku adalah si bintang utama, yang mendapat lampu sorot paling terang di antara yang lainnya.

Hampir empat bulan setelah kepergian Elena malam itu, perempuan gila itu mengirimiku surat di pagi-pagi buta, entah dengan cara apa, ia menyelipkan surat itu di kamar kos-ku. Setiap hari. Ya, setiap hari. Surat itu berisi tentang betapa sedih ia meninggalkanku malam itu, dan betapa terbakarnya ia menginginkanku. Puisi-puisi cinta selalu hadir di akhir surat itu. Aku tidak mau mengingat surat-surat keparat yang membuatku berkali-kali pindah kos, tetapi surat itu tetap saja menemui keberadaanku. Aneh. Padahal, aku tidak pernah membalas surat itu sama sekali, apa lagi menuliskan alamat ketika membalasnya, menulis untuk sekadar membalas suratnya pun, aku enggan. Dia, perempuan gila! Aku diteror habis-habisan dengan surat dan puisi-puisi cintanya yang ia kirim setiap hari.

Elena memang mencintaiku sebegitu demikian hebat dan besarnya. Aku tidak mengerti cinta sebelum Diana memberikan rasa sakral dan aneh itu kepadaku, yang berujung pedih yang tak terobati. Barangkali, begitu juga yang dirasakan Elena karena cintanya tak terbalas olehku, apalagi surat-suratnya. Tetapi surat-surat itu selalu kubaca. Di pagi hari, dengan secangkir kopi panas, uap mengepul, wangi kopi meguar-nguar di udara yang masih segar itu, surat selalu terselip di celah-celah pintu bagian bawah, dan aku membacanya dengan khidmat, juga sendu dan perasaan bersalah yang menyelimuti. Surat-surat itu muram seperti matanya yang kulihat terakhir kali; senja yang padam. Aku—walaupun membenci surat-surat itu—tidak mau melewati begitu saja surat dari Elena, walaupun akhirnya perasaan bersalah itu seperti semak belukar yang meninggi di dadaku. Tidak bisa dicerabut asal-asalan, karena esok hari ia akan tumbuh subur kembali oleh surat muram yang baru.

Awalnya, aku tidak mengerti, apakah dicintai seseorang bisa membuat kita merasa terbebani dan penuh oleh rasa bersalah? Karena aku merasa begitu ketika dicintai Elena. Perasaan bersalah yang penuh karena berhasil melukai hati perempuan yang mencintaiku. Aku membayangkan wajah ibu. Ibu yang pandai memasak sayur asam, merajut baju hangat, dan pandai memelukku ketika aku bersedih. Tiba-tiba aku rindu Ibu, tapi kemudian kuhempaskan kembali bayangan itu, mengingat ia tidak merindukanku.

Surat-surat itu tetap datang sampai beberapa tahun berikutnya. Sampai aku dan Diana hampir menikah. Bodohnya, aku tidak pernah membuang ataupun membakar surat-surat itu, yang ada, aku justru menyimpannya dalam kardus bekas mie instan yang atasnya kututupi dengan lakban, dan kemudian dilubangi seperti celengan ayam, tujuannya untuk memasuki surat-surat Elena ke dalam kardus, setiap hari. Suatu hari, Diana menemukan kotak itu dan membongkarnya. Percis satu bulan sebelum menikah. Dan dia membaca semuanya. Ya, semuanya. Beratus-ratus surat-surat muram itu. Sialnya, Elena juga menulis kenangan-kenangan dan adegan-adegan hebat kami saat bersetubuh. Aku menganggapnya, permainan, ia menganggapnya kenangan yang terus hidup dalam kepala dan rongga dadanya.

Kau bisa menebaknya, ah, iya. Diana menangis atas kesedihan Elena dan kebejatan seorang Gandru yang telah berani melukai hati perempuan. Menyepelekan cinta seseorang. Setelah itu, ya, kau bisa menebaknya juga. Diana pergi dari hidupku. Semudah membalikkan telapak tangan. Ia membatalkan rencana pernikahan dan memberikan cincin pertunangan kami kepadaku. Ia bilang, cincin itu pantas untuk Elena. Ia akan membayar kesedihan Elena dengan cara memberikan aku kepadanya. Memangnya aku barang yang bisa dihibahkan sesuka hatinya? Seandainya ia tahu, kesedihan tidak bisa dibayar oleh apa-apa kecuali oleh dirinya sendiri. Dan dengan dia meninggalkanku, dia malah membuat dua kali kesedihan. Pertama, aku tidak akan membalas surat-surat Elena, dan akan membencinya, kedua, ialah kembalinya aku menjadi seseorang yang tak memiliki pegangan. Sudah. Berantakan sudah.

Band-ku bubar, karena personelnya sudah menikah dan memiliki pekerjaan mapan, Diana pergi meninggalkanku, dan surat-surat Elena terus menghantuiku. Sampai suatu ketika berhenti. Dan aku frustasi. Merasa tidak dicintai, dan sendirian. Kadang, aku kerap menunggu datangnya surat itu, surat keparat yang membuat Diana pergi, tetapi itu sudah tidak ada lagi. Dua tahun dihinggapi kesendirian dan mimpi-mimpi buruk, mengantarkanku ke sebuah keadaan abnormal. Kepada ingatan-ingatan yang lalu-lalang. Tentang masa kecil, pertengkaran Ayah-Ibuku dulu, Diana, dan persetubuhan dengan Elena. Yang terakhir lebih sering menghantuiku. Mereka semua partikel-partikel masa lalu yang berseliweran dalam kepalaku, membuatku ingin tertawa, dan menangis tersedu-sedu. Kadang aku cekikikan di teras kos-kosan, kadang aku tersedu-sedu menangis seperti sedih sekali sampai akhirnya aku diusir oleh ibu kosku. Katanya, aku gila! Enak saja. Dia yang edan, mengusirku seenaknya! Hek..hek..hek..

“Dan akhirnya aku kemari. Duduk di sini bercerita denganmu. Aku rindu bercerita tentang hidupku, tentang masa laluku, dan masa kecilku. Kamu baik. Kamu mau mendengarkan aku. Tidak seperti orang-orang gila itu, yang sibuk mbicara’in aku! Hik hik hik hik….” aku tertawa cekikikan. Lawan bicaraku diam saja, tapi tak nampak ketakutan. Sepasang muda-mudi yang melintas menatapku dengan tatapan gusar sekaligus aneh dan jijik. Aku masa bodoh, sudah biasa. Tetapi lawan bicaraku nampak tidak keberatan. Ia lebih manusia dari manusia biasa meskipun dia bukan manusia.

“Ih, orang gila! Ngomong sama bangku!” sayup-sayup perempuan yang melintas itu bicara pada laki-laki di sebelahnya. Lagi-lagi perempuan yang lain itu mengingatkan aku pada Diana….tiba-tiba aku ingin menangis tersedu-sedu.

—–END——

Depok, 6 Juli 2015