Mimpi Buruk Raja Zein

Hari itu Raja Zein tidak bisa tidur siang seperti biasanya. Semalam dia mimpi buruk. Dia mimpi kepalanya dipenggal orang tak dikenal. Tangan dan kakinya diikat pakai tali plastik murahan. Kepala yang dipenggal itu kemudian dibawa pulang si pemenggal dan badannya dimasukkan karung dan dilarungkan ke sungai di belakang istananya.

Raja Zein tiba-tiba teringat sesuatu. Sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang meremangkan bulu kuduknya. Sesuatu yang, ah, sudahlah. Dia terlalu lelah membaca berita-berita di gawai, dia terlalu lelah memikirkan rakyat-rakyatnya selama hampir enam jam lamanya. Dia mengantuk. Tapi badannya selalu grasak-gurusuk. Muter-muter. Dia takut mimpi buruknya berlanjut lagi. Dia takut melihat kematian dirinya sendiri, meski itu dalam mimpi.

Rakyat Gole-gole hari itu sama saja dengan hari biasanya. Adem-ayem. Tentram. Tidak ada yang mengganggu ketentraman Rakyat Golegole meski di dalam istana, Rajanya tidak bisa tidur siang. Rakyat Golegole sesiang ini masih wajar. Ada yang memasak makan siang, ada yang bekerja, ada yang menumbuk padi, ada yang menanam padi, ada yang menonton tv, ada yang menyetel musik, ada yang menyeduh kopi, dan ada yang tidur siang dengan nyenyaknya. Sayangnya itu bukan Raja Zein. Raja Zein sedang gelisah.

Akhirnya Raja Zein terlelap juga. Terlelap pada saat pukul dua siang. Jadwal tidur siang yang telat. Raja  Zein biasanya tidur tepat tengah hari bolong. Setelah makan dua porsi lidah sapi panggang dan satu porsi kepala babi Zimbabwe. Babi paling enak di seluruh negeri Golegole yang hanya bisa dinikmati Raja Zein seorang. Dan istri yang setelah itu nguik-nguik di kamar mandi demi mengeluarkan seluruh isi perutnya. Dan anak-anak Raja Zein yang gemuk-gemuk bagai sapi impor.

Tidur siang Raja Zein ternyata tidak nyenyak-nyenyak amat. Pukul setengah empat sore dia mendadak terbangun dengan badan basah kuyup kemringet dan wajah pucat pasi. Istrinya yang sedang tidur di sebelahnya juga mau tak mau ikut terbangun. Dan menanyakan, apakah ada sesuatu yang buruk? Apakah kau mimpi buruk, sayang? Tetapi Raja Zein diam saja. Dia bangun dari kasurnya yang empuk dan mewah yang di pinggir-pinggir kasurnya terdapat besi berlapis emas 23 karat. Raja Zein langsung menuang segelas anggur putih 200 tahun lalu dari Swedia. Glek, glek, glek… tetapi bayangan di mimpi itu belum hilang.

“Aku merasa aku akan digulingkan, istriku. Aku merasa saya akan dibunuh. Dan kau dan anak-anak kita akan dibakar,” kata Raja Zein.

Istrinya melotot. Antara bertanya-tanya dan ngeri.

“Apa yang sedang kau bicarakan, suamiku? Sejak kapan Raja bisa merasa? Ada-ada saja. Hal buruk semacam itu tidak akan terjadi. Kau memegang tampuk kekuasaan. Kalau ada hal yang akan mengancam jiwa kita, kau tinggal kerahkan prajurit Golegole yang perkasa itu. Tidak mungkin itu terjadi.”

“Istriku, hal buruk adalah suatu kemungkinan yang mungkin terjadi. Apapun itu. Bukan tidak mungkin kalau kepalaku, kepala raja, dipenggal dan jadi pajangan di rumah orang miskin. Rumah rakyat!”

“Kau itu ngomong apa? Rakyat Golegole mana yang akan berani memenggal kepala? Kau hanya mimpi buruk.”

“Tidak…tidak. Ini nyata, istriku. Dan rakyat yang memenggalku adalah rakyat yang memberontak. Ya, rakyat yang memberontak.”

“Tidak usah macam-macam. Sekarang mandi saja. Sudah sedia sarsaparilla hangat untuk kau mandi. Aku akan minta pelayan membuatkanmu daging cendrawasih dan darah buaya supaya kau bisa tenang.”

“Baiklah. Terima kasih, istriku.”

Raja Zein kemudian mengangkat tubuhnya dari kasur dan meninggalkan istrinya. Dia pergi ke kamar mandi dan merendam tubuhnya dalam bath tub berisi sarsaparilla hangat. Lumayan. Tetapi tidak melupakan bayang-bayang hitam di dalam mimpinya. Bayang-bayang hitam yang menyelundup ke istana dan memenggal kepalanya dengan mudah. Semudah dia mengangkat bokongnya.

Masih terbayang kilatan samurai itu di matanya ketika dia sedang memotong-motong daging cendrawasih dengan pisaunya. Kilatan samurai yang dengan gampang memutus leher dan kepalanya. Kilatan samurai yang kelihatannya sangat ringan untuk menebas lehernya. Dia memotong kepala cendrawasih itu dan tiba-tiba tangannya berhenti. Ia membayangkan apabila kepala cendrwasih itu adalah kepalanya. Dan pisau makan itu adalah samurai. Dan dirinya itu adalah si bayang-bayang hitam. Si pemenggal.

“Ada apa, Tuan? Apa kepala cendrawasihnya terlalu alot?” tanya pelayannya. Dia tidak menggubris. Dia malah memerintahkan untuk membuang kepala cendrawasih itu. Ke mana pun.

“Di mana kau buang itu kepala cendrawasih, hah?” tanyanya ketika pelayan itu kembali berdiri di samping meja perjamuannya.

“Ke sungai, Tuan.” Glek. Bulu roma Raja Zein meremang.

Apakah mimpi itu? Apakah….

Apakah pelayan ini nanti yang akan memenggal kepalanya dan membuangnya ke sungai di belakang istana? Apakah ini wangsit? Apa….

Hari itu juga pelayan yang membuang kepala cendrawasih ke sungai dipecat. Pelayan itu tidak tahu apa-apa. Tidak tahu alasan mengapa ia dipecat dan diusir dari istana. Pelayan itu tidak tahu mengapa ia dicampakkan setelah selama hampir separuh hidupnya ia mengabdi di sana. Selama hampir separuh hidupnya ia memasak daging-daging kesukaan raja-raja. Bahkan, sebelum Raja Zein ada.

Bukan hanya dipecat, pelayan itu juga tidak diperkenankan mendekati istana. Prajurit-prajurit di garda depan sudah mencatat dan menghapal wajah, suara, dan lekak-lekuk tubuhnya agar tidak sampai mendekat dan memasuki istana. Pelayan itu tidak tahu mengapa.

Prajurit itu juga tidak tahu mengapa dia harus melarang pelayan itu mendekati istana. Padahal tadinya pelayan itu begitu dihormati prajurit karena dianggap sepuh oleh prajurit-prajurit baru. Pelayan itu juga dikenal baik hati karena suka menyisakan daging-daging yang dia masak ke prajurit-prajurit garda depan.

Tetapi tiga hari setelah pengusiran itu, beredar cerita dari Raja bahwa pelayan itu akan membunuhnya, memenggal kepalanya, dan membuangnya ke sungai. Para prajurit itu bertanya-tanya, saling berpandangan, dan bilang bahwa hal itu tidak mungkin, si pelayan sangat baik. Tetapi apakah di balik kebaikannya ada sesuatu? Apakah diam-diam ia akan meracuni Raja dan memenggal kepalanya? Lama-lama cerita Raja itu dipercaya meski para prajurit itu tidak tahu kebenarannya. Karena Raja yang bicara, maka itulah kebenaran yang sesungguhnya.

Jauh dari istana, pelayan itu kini hanya jadi rakyat Golegole biasa. Hidup di pinggir kota dan bekerja sebagai buruh pabrik. Tetapi tak lama setelah dia diterima jadi buruh pabrik, empunya pabrik ternyata mendengar cerita raja tentang pelayan itu. Maka dipecat lagi lah pelayan itu. Dan pelayan itu tidak pernah tahu mengapa.

Kemudian pelayan itu, sebut saja namanya Dowo, kini bekerja sebagai petani di sawah milik orang lain. Serabutan. Dowo hanya bisa membawa pulang sedikit beras untuk makannya sendiri dan singkong cacat yang tidak laku dijual. Atau kadang-kadang kalau tidak menggarap sawah, dia jadi tukang ojek dari meminjam motor ke tetangganya. Lumayan, dari itu Dowo bisa hidup tentram dan makan meski hanya dengan beras, tok.

Di istana, Raja Zein sakit keras. Dia tidak bisa tidur selama dua bulan belakangan sehingga kantung matanya sudah sebesar bakso rudal. Dia tampak lelah dan kurus karena tidak makan daging selama tiga minggu. Dia hanya mau makan soup ayam, bayam, dan tahu. Seperti rakyat. Kadang, kalau ada, dan kalau dibolehkan, dia makan mie instan. Seperti rakyat kecil.

Mimpi-mimpi Raja Zein semakin jelas. Wajah di mimpinya itu semakin kentara. Dia sudah bisa melihat kepalanya tergantung di pintu rumah seorang rakyat Golegole. Dia sudah bisa melihat tubuhnya hanyut hampir ke muara. Dan wajah itu….wajah si pemenggal…

Dia bukan Dowo. Bukan pelayan itu.

Raja Zein merasa familier dengan pemenggal itu.

Dia merasa de ja vu.

Wajah itu…

Wajah itu…

Wajah itu… Ah, dia ingat.

Itu adalah wajah Woro Geni.

Dia Woro Geni, laki-laki yang tangan dan kakinya ia ikat dengan tali tambang. Laki-laki yang kepalanya dia penggal. Dan tubunya dia larungkan ke sungai.

Woro Geni yang seharusnya menjadi Raja Geni. Bukan Raja Zein.


 

Depok, 19 Desember 2016

Tinggalkan komentar