Sebuah Kisah Cinta yang Bukan Kisah Cinta Biasa

Thalia
Aku tidak menyangka akan secepat ini. Tidak menyangka kalau kita menggulung kisah ini secepat menggulung karpet atau menggulung kalender atau menggulung kertas yang tak lagi dipakai. Apa kau bakal menyangka seperti ini? Apa kau menulis puisi untukku? Apa kau sedih ketika meninggalkanku? Apa kau menangis? Apa kau selalu merinduiku, seperti yang selalu kau ulang-ulang ketika kau mau pulang ke kotamu? Apa kau bahagia hari ini?

Dhanis
Aku tidak menyangka akan secepat ini. Aku selalu berpikir, kaulah yang nanti memiliki seluruh pagi dan malamku. Aku selalu berpikir, kaulah tempat segalaku berbagi. Berbagi kegembiraan, kesedihan, dan kekosongan-kekosonganku. Apa kau masih menyimpan puisi-puisiku? Apa kau akan menangis ketika membacanya ulang? Apa kau masih ingin membacanya lagi? Apa masih kau simpan? Aku membuatkanmu tujuhbelas puisi selama satu tahun kita tak lagi berjumpa dan bercumbu. Puisi-puisimu, masih rapi tersimpan di laciku. Bersama foto-foto kita. Bersama puisi-puisiku yang tak pernah kukirimkan.

Bandara Soekarno – Hatta, 14 Desember 2015:

Dhanis
Aku tidak menyangka bakal begini jadinya. Pertengkaran kemarin adalah hal yang tak pernah kuduga-duga ketika aku kemari. Aku hanya mengharapkan peluk hangatmu, dapur hangatmu, ranjang hangatmu. Tapi kau siksa aku dengan dinginmu. Dinginmu, kau tahu, seperti dinding, aku tak mampu leluasa menyentuhmu lagi. Saat itu, kali terakhir aku mencium tengkukmu, saat itu pula aku tahu bahwa jiwamu tak lagi bersamaku. Hanya ragamu. Hanya raga dan kata-katamu yang semua bohong.

Thalia
Maafkan aku, Dhanis. Pertengkaran kemarin seharusnya tidak terjadi. Dan kepulanganmu seharusnya bukan hari ini. Maaf aku tak bisa mengantarmu ke bandara. Maaf aku tidak memelukmu yang lama dan erat seperti biasanya. Maaf aku tidak memintamu tinggal. Maaf aku tidak sempat meminta maaf.

15 Januari 2013

Thalia
Aku rasa aku sedang jatuh cinta. Dhanis. Pemilik nama itu yang menebus hatiku dari jerat-jerat masalalu dan krat-krat bir yang selalu kuminum setiap malam. Dhanis sangat baik, supel, dermawan, dan mampu membuat kedua mataku tak berpaling darinya ketika dia berbicara. Ini gila. Ini tidak pernah terjadi. Daya pikatnya kurasa terbuat dari serbuk ajaib yang terbuat dari rumah kurcaci atau peri-peri baik. Dia selalu menatap mataku ketika berbicara. Matanya tersenyum. Kupikir mata itu hanya laut dangkal, tetapi nyatanya sungai yang deras. Lima menit pertama aku terseret, lima menit kedua aku hanyut, lima menit ketiga aku tenggelam, lima menit keempat aku masuk ke dalam samudranya, dan lima menit kelima aku rasa aku tidak akan bisa kembali lagi. Ini sungguh gila, kan? Apa jatuh cinta segila ini?

Dhanis
Aku rasa aku sedang jatuh cinta. Yang benar saja, dia membaca Haruki Murakami dari Norwegian Wood hingga 1Q84, Emily Dickinson, dan Robert Frost. Yang benar saja, dia mendengarkan musik The Smiths, Simon & Garfunkel, The Everly Brothers, dan Bob Dylan. Yang benar saja, dia menggilai lagu-lagu Morissey. Yang benar saja, kita berdiskusi dari lepas pagi hingga semua toko tutup. Matanya, ada yang mengganjal di sana. Barangkali kesedihan. Dia seperti menyembunyikan kegelapan dalam matanya. Lima menit pertama, aku tak dapat melihat sama sekali, lima menit ke dua aku tersesat, lima menit ketiga aku kelimpungan, lima menit keempat aku mulai menikmati gelap itu, lima menit kelima aku menemukan cahaya. Cahaya itu bersinar setitik saat kita bertatapan. Ah, apakah ini ilusi melankolia saja? Atau memang jatuh cinta segila ini?

Maret, 2013

Thalia
Ada yang ingin meledak dalam tubuhku. Kau memasukkan puisi ke dalam tubuhku. Puisi yang telanjang. Puisi yang basah. Puisi yang berdenyut. Puisi yang mendebarkan. Puisi yang rasanya ingin meledakkan diriku saat itu juga. Puisi yang sunyi. Seperti malam dan hujan rintik-rintik turun bersamaan dari langit. Heningnya membuat terpaku. Kau menatapku. Sekali lagi, aku tidak ingin kembali. Kita bercinta. Dalam arti yang sebenarnya. Kita bercinta. Bukan bersenggama. Dan kita melakukannya empat kali lagi.

Dhanis
Ada yang ingin pecah dalam tubuhku. Aku memasuki belantara hutan paling gelap. Paling rimbun. Paling basah. Paling dingin. Dan paling berangin. Aku duduk di salah satu batunya dan menulis puisi. Puisi yang telanjang. Puisi yang basah. Puisi yang mendebarkan. Puisi yang rasanya ingin menggetarkan hutan. Menggetarkanmu. Kemudian puisi paling sunyi. Puisi yang meninabobokanmu dalam rengkuhaku. Dalam selimut hangat kita. Pejammu sehening laut mati. Aku ingin berenang di sana dan tak kembali lagi. Mati pun boleh saja, aku tak keberatan. Kita bercinta. Dalam arti yang sebenarnya. Kita bercinta. Bukan bersenggama. Dan kita melakukannya empat kali lagi.

April 2013

Thalia & Dhanis
Kita tidak ingin meminta apa-apa lagi. Rasanya sudah lengkap. Kami saling mengisi kekosongan satu sama lain. Kami saling menukar kado. Isi kado itu selalu cerita yang Thalia bawa, atau Dhanis bawa setelah tak berjumpa. Thalia di Jakarta, Dhanis di Manado. Seminggu sekali kita bertemu, berciuman, berpelukan, bercinta. Kadang dua minggu sekali. Jarak tidak melunturkan cinta kami, kami yakin itu.

Thalia
Jarak tidak melunturkan cintaku padamu. Kau datang dan selalu membuat aku tak bisa kembali. Ketika kau pulang ke kotamu, aku akan terus tenggelam mencintaimu. Hari ini kau akan kembali ke Manado. Aku sudah buatkanmu bekal makan masakanku dan puisiku. Ada tiga puisi.

Dhanis
Jarak tidak melunturkan cintaku padamu. Kau datang dan selalu membuat aku tak bisa melihat dengan jernih. Ketika aku pulang ke kotaku, aku akan terus tersesat mencintaimu. Hari ini aku kembali ke Manado. Kita akan berpisah. Terima kasih bekalmu. Nasi goreng telur hangat yang enak. Aku sudah menyelipkan tiga puisi di buku puisi Lang Leav yang kuberikan padamu. Oh iya, aku akan membawakanmu masakan khas Manado ketika aku kembali. Tapi bukan masakanku, melainkan masakan ibuku, karena aku tidak bisa memasak, hehehe.

September 2014

Thalia & Dhanis
Terbukti, jarak tidak melunturkan cinta kami. Mungkin resepnya adalah puisi. Sudah tradisi kami, ketika hendak berpisah, masing-masing kami menulis puisi untuk dihadiahkan ke satu sama lain. Ini resep agar cinta tidak cepat luntur dan awet. Lagi pula, dalam diri kami tidak hanya ada cinta. Tetapi ada pula rasa persahabatan dan persaudaraan yang terjalin begitu saja. Kami, misalnya, bisa saja berdiskusi dari semua toko buka hingga semua toko tutup. Yang dibicarakan ada saja. Buku, musik, puisi, politik, kesenian, ekonomi, sosial budaya, soal-soal remeh keseharian, ya begitu lah. Kadangkala, bisa saja kami bertengkar seperti sepasang kakak adik yang rebutan remot tv, perkara rebutan makanan, perkara remeh yang membuat kami saling cemberut satu sama lain. Tapi tak pernah lama. Satu-dua jam, mungkin kami akan kembali tertawa dan bercinta di kamar tidur, kamar mandi, atau sofa. Thalia senang sekali di sofa. Kalau Dhanis lebih senang di kamar mandi.

Januari 2015

Thalia
Hampir sebulan kita tak bertemu. Apa kau rindu padaku? Kau selalu bilang, ‘aku selalu merindukanmu. I’ll miss you’. Kau selalu bilang, hari-harimu tidak pernah tidak dipenuhi rindu. Benarkah? Mengapa kini kau sibuk sekali? Tenggelam dalam rutinitasmu dan pekerjaan-pekerjaanmu. Mengapa semakin hari kau semakin dingin saja? Aku ingin datang ke Manado dan mengambil cuti kerja, tetapi kau selalu katakan jangan. Kau selalu bilang ‘aku sibuk. minggu depan aku akan datang ke Jakarta. Tunggu saja,’ katamu. Tapi, hei, ini sudah dua minggu!

Dhanis
Hampir sebulan kita tak bertemu. Aku sangat rindu padamu. Aku akan menemuimu, tapi tidak minggu ini. Maafkan aku. Wajahmu pasti sedang memasang raut kesal. Membayangkannya, aku ingin mencubit pipimu dan menenggelamkan wajahmu ke wajahku. Kau akan memasang wajah cemberut, dan aku akan memelukmu. Memelukmu erat. Dan kuyakin kau akan menangis dan memukuli punggungku. Kau benci punggung. Itu kan yang kau tulis di puisi-puisimu padaku? Belakangan ini aku memang sedang sibuk. Kuharap kau tak memiliki prasangka buruk kepadaku. Aku sedang mempersiapkan ini untukmu. Untuk kita. Untuk masa depan kita. Untuk percakapan yang panjang, pagi yang lebih panjang, senja yang selalu merona, dan malam yang duakali lipat lebih hangat dan panjang. Rasanya dunia kita tidak memiliki siang. Tidak memiliki terik. Aku harap kau tabah menungguku. Aku akan kembali dan tersesat.

Agustus 2015

Thalia
Dhanis, entah mengapa ini rasanya lain bagiku. Asing. Asin.

Dhanis
Thalia, apa yang berubah darimu? Entah mengapa ini rasanya lain.

September 2015

Thalia
Apakah kita bisa jatuh cinta kepada dua orang secara bersamaan? Aku rasa, aku tidak bisa meneruskan ini, Dhanis. Tapi, apa yang terjadi denganku bila tanpa kamu? Aku rasa aku tidak bakal mati, tetapi aku akan kehilangan.

Dhanis
Kau bilang, aku adalah samudera di mana kau tak bisa kembali. Thalia, apa kau kini menemukan sebuah perahu dan berniat kembali?

Oktober 2015

Thalia
Aku tidak sanggup untuk tidak kembali. Aku ingin kembali. Aku tidak bisa berenang.

Dhanis
Proyekku gagal sudah. Maafkan aku Thalia, mungkin aku tak akan datang ke Jakarta dalam jangka waktu yang ditentukan. Aku perlu sendiri. Aku perlu merenung. Aku perlu memperbaiki.

November 2015

Thalia
Saat kau kembali ke Jakarta, aku tak bisa merasai apa-apa lagi. Ketika kulihat wajahmu dan tanganmu melambai, aku tak bisa menyunggingkan senyum tulusku. Tapi aku tetap tersenyum. Senyum palsu. Kau merasakan itu?

Dhanis
Saat aku kembali ke Jakarta, aku ingin segera memelukmu erat-erat. Tetapi ada apa matamu, Thalia? Gelap. Mengapa tak ada cahaya lagi? Aku seperti menemukan kegelapan yang sama saat pertama kali kita bertemu di bar itu. Bar tempat kau mencurahkan segala kesedihanmu dalam krat-krat bir di meja. Karena itu, aku tak jadi memelukmu. Hanya menggenggam tanganmu. Pelan.

Thalia
Saat kau memelukku, aku tak bisa merasai apa-apa lagi. Ketika kuliahat matamu, ternyata aku tidak terseret lagi. Aku sudah kembali ke daratan. Pun ketika kau masuki aku. Kau hentak-hentak tubuhmu ke dalam aku. Kau ciumi seluruh tubuhku. Kau hinggapi tengkukku berlama-lama. Telanjang. Basah. Berdenyut. Dan berdebar. Aku tidak akan meledak, tetapi aku berpura-pura meledakkan diri. Kita tidak bercinta. Bukan dalam artian sebenarnya. Kita tidak bercinta. Kita bersenggama.

Dhanis
Saat aku memelukmu, aku hanya merasakan dingin. Ketika kulihat matamu, gelap itu kini kembali menjadi dinding. Tembok batu. Keras dan tak tertembus apapun. Pun dengan sentuhan-sentuhanku yang katamu adalah puisi. Puisi yang telanjang. Puisi yang basah. Puisi yang berdenyut dan berdebar. Aku ingin menggetarkanmu lagi, tapi ku rasa kau hanya pura-pura bergetar. Kurasa kita tidak sedang bercinta. Tetapi bersenggama.

Desember 2015

Thalia
Sampai sini saja.

Dhanis
Sampai sini saja?

Sepanjang 2016

Dhanis
Aku menghabiskan setengah tahun ini untuk berduka. Dan setengah tahun lainnya untuk membuka hati. Berat melupakan Thalia. Kurasa tidak ada lagi yang menyamainya. Thalia hanya satu. Puisi-puisi, gagasan-gagasan, cerita-cerita Thalia, hanya Thalia yang mampu membuatnya. Perempuan itu bernama Rani. Dia sesederhana namanya. Kisah percintaan kami biasa saja. Normal. Tapi entah mengapa, dia membuatku yakin. Tahun depan aku akan menikahinya. Terlalu cepatkah? Tidak kalau kamu sudah yakin, waktu satu dua hari pun tidak cepat bagimu.

Thalia
Aku menghabiskan setengah tahun ini untuk berduka. Dan setengah tahun lainnya untuk membuka hati. Berat melupakan Dhanis. Kurasa tidak ada lagi yang menyamainya. Dhanis hanya satu. Puisi-puisi, gagasan-gagasan, cerita-cerita Dhanis, hanya Dhanis yang mampu membuatnya. Laki-laki itu bernama Romi. Dia sesederhana namanya. Kisah percintaan kami biasa saja. Normal. Tapi entah mengapa, dia membuatku yakin. Minggu ini dia melamarku. Terlalu cepatkah? Tidak kalau kamu sudah yakin. Aku dan Romi sudah yakin. Kami sepakat menikah tahun depan.

large

 

—END—

 

Depok, 14 Oktober 2016

 

Cinta Tak Sesederhana Menjadi Bahagia

Mungkin mereka pikir saya kelewat dungu, atau ketakutan. Mereka pikir, saya adalah pecundang paling naif yang tinggal di negeri ini. Pecundang yang mereka kenal sebagai pemuja cinta, padahal sebenarnya cinta lah yang menghabisi nyali saya. Cinta lah yang pecundangi saya selain dunia dan caci-maki mereka. Cinta. Ah, sebuah kata yang mengubah saya menjadi manusia yang bukan saya. Kata yang mengubah jiwa saya.

“Adendong, lama deh lo dandannya, yang mau kencan kan gue, masa jadi cakepan elo!” Itu suara Liana. Dia perempuan paling cantik setelah ibu saya. Dia perempuan paling gagah setelah ayah saya.

“Ey, mak! Secakep-cakepnya gue, laki lo nggak mungkin naksir sama gue!” Sahut saya sekenanya. Perempuan itu tertawa, suaranya renyah serenyah biskuit penganan teh sore.

Liana berkaca di cermin rias saya sekali lagi, merapikan sisa cokelat di bibir yang sudah dipoles gincu merah marun. Tangannya asik menyisir rambut sebahunya dengan jari-jari lentiknya. Jari-jari yang sering saya lihat mengambang di udara dengan gerakan-gerakan naik-turun seperti lenggokan pinggul penari yang paling gemulai. Ya, Liana suka menari. Dan saya suka melihatnya menari.

“Iya juga sih, lagi elo nama doang Adam, tapi kelakuan Hawa,” Liana terbahak.

“Ye, kampret lo, mak!” saya mencubit lengannya gemas, dia meringis.

*

Masih teringat di benak saya bagaimana suara Liana berteriak sekencang suara badai di telinga saya. Bagaimana suara tangisnya yang meraung-raung mencabik bahu saya. Suara-suara yang keluar mirip suara ibu saya di rumah ketika saya kecil. Suara-suara pilu perempuan terluka sebab laki-laki.

“Remon udah merkosa gue, Dam. Gue nggak tau harus gimana lagi. Gue udah kotor!” Liana terisak. Suaranya lirih seperti burung yang ingin menjemput ajalnya. Indah, tetapi menyedihkan. Suara Liana lima tahun silam. Suara yang tidak ingin saya dengar lagi.

Suara yang sama seperti masa lalu saya;

“Ampun, Yah. Ampuuunnn!” perempuan itu terisak setelah suara beling pecah di lantai. Suara tangisnya ikut pecah di muka pintu kamar saya. Saya mendengarnya.

Itu suara ibu saya. Setelah itu saya keluar kamar, dan melihat ibu saya tergolek di lantai dengan vas bunga pemberian ayah saya yang sudah pecah berhamburan. Seperti hati ibu saya. Usai malam itu, saya tidak pernah melihat vas bunga ditaruh di meja, dan juga ayah saya.

Tidak ada yang bisa saya lakukan kepada dua orang tersayang itu kecuali memberi rasa aman yang tak seberapa. Mereka membenci laki-laki, saya juga. Bedanya, saya adalah laki-laki, yang membenci raga saya sendiri.

*

Lima tahun sudah berlalu sejak tangis dan raungan Liana mendekam serupa ingatan di kepala saya. Hampir lima tahun pula saya tidak bisa mendengar suara tawa Liana yang serenyah biskuit penganan kopi pagi. Hampir lima tahun sebelum ia bertemu dengan Rajib Waguna Alanasakti, laki-laki pemabuk di bar langganan saya. Laki-laki itu senang menghabiskan lima botol chivas ketika menjelang pukul dua dini hari. Saya sempat mengobrol dengannya, sebelum ia dan Liana bertemu tak sengaja, katanya, hidup bahagia di dunia ini sebagai orang yang benar-benar sadar ialah dusta. Maka, ia habiskan tujuh tahun belakangan ini dengan mabuk-mabukan. Ketika saya bertanya alasannya, dia bilang, get drunk is my way to pleasure myself.

“Gue nggak bilang kalo bahagia itu harus dengan mabuk, but it’s my own way dan orang lain nggak berhak ngurusin gue seolah-olah ini dosa besar. Well, setiap orang punya dosanya masing-masing. Just, get a life, man.” katanya. Di depan saya dan Liana. Yang saya tahu, setelah itu senyum biskuit Liana terdengar lagi. Perempuan itu jatuh cinta. Dan saya baru sadar, letak kesalahan terbesar saya adalah ketika mengajak Liana ke bar langganan saya dan mengenalkannya pada Rajib.

*

Colony, 21:18 WIB.

Rajib sudah lebih dulu datang sebelum saya dan Liana. Mereka akan berkencan di depan saya, tapi yang saya suka dari Rajib adalah laki-laki ini tidak seperti laki-laki lainnya yang mencoba menjauhkan hubungan saya dengan Liana, dia malah sebaliknya. Dia tidak menghilangkan sebagian potongan dari hidup Liana, termasuk masa lalunya yang kelam dan juga saya. Tangan laki-laki itu seolah kuncup mawar yang mekar; terbuka untuk siapa dan apa saja tanpa pilih-pilih ras ataupun orientasi seksual.

people just people who judging each other. I may say that i’m not kind of them, but i’m only human.” dia pernah berkata begitu. Itulah yang saya tahu bahwa laki-laki bertubuh kurus dan berkulit cokelat gelap ini mempunyai hati yang lapang. Well, he’s not talking bullshit, anyway. Jadi saat dia bilang dia mencintai Liana, saya tahu laki-laki itu sungguh-sungguh. Dan saya tidak menyesali kesalahan saya; mempertemukan Liana dan Rajib. They’re such of lovely couple i’ve ever met.

Entah berapa jam kami bertiga menghabiskan waktu, dan berbotol-botol bir di sini dengan percakapan-percakapan yang tak kenal kata usai. Berkali-kali saya melihat bibir Liana dan Rajib bersentuhan seperti bibir saya dengan gelas bir di tangan saya. Berkali-kali ciuman mereka liar membangkitkan emosi saya. Berkali-kali saya berdebar melepaskan cemas di dada, berharap tatapan mata dari Rajib adalah kesungguhan pada Liana. Saya sama sekali tidak ingin mendengar tangis Liana. Tidak lagi. Namun yang saya lihat adalah kebahagiaan sekaligus kehilangan pada mata dan ciuman Rajib. Dia betul-betul mencintai Liana. Hal itu melegakan, membahagiakan, sekaligus menyakitkan bagi saya. Bila kalian ingin bertanya apa sebabnya, saya ingin mengakui beberapa hal; rahasia terbesar dalam hidup saya selama terjebak dalam tubuh ini;

Saya mencintai Liana. Setelah saya tahu dia membenci laki-laki, saya putuskan agar saya tidak menjadi laki-laki. Saya menjadi perempuan untuknya. Karena cinta.

Saya mencintai Rajib. Dia adalah laki-laki ‘straight’ satu-satunya yang saya cintai.

Pada mulanya, semua membingungkan. Apalagi ketika berhadapan dengan dua orang yang saya cintai dan tidak pernah bisa saya miliki. Dua orang yang saya cintai saling mencintai. It’s more difficult than you think. But at least, I know that, I love the way Rajib loves Liana.

Saya membiarkan dua orang yang saya cintai berbahagia dengan saling mencintai satu sama lain. Dan yang lebih membahagiakan untuk saya adalah, dua orang itu juga mencintai saya. Walau tak pernah bisa saya miliki.

Mereka boleh berpikir saya pecundang, atau bahkan sampah dunia, tetapi yang mereka tidak tahu adalah, bahwa Tuhan menciptakan manusia selalu ada gunanya, He knows what people don’ts, right?

At least, saya mungkin belum menemukan letak kebahagiaan saya yang utuh, tetapi saya tahu apa yang sedang saya lakukan; menjemput takdir. Seperti puisi yang pernah saya tulis.


Takdir Di Tangga Waktu

Saya pikir, saya pecundang
Saya pikir, dunia bukan untuk saya yang malang

Saya pikir, dunia tidak adil
Saya pikir, pemikiran saya yang kerdil

Saya pikir, manusia hanyalah manusia
Yang nanti akan menemukan takdir masing-masing

Biar saja waktu menyeret saya dari tanpa cahaya, sampai ada cahaya lagi
Terseret anak-anak tangga sambil mengaduh kesakitan
Berjalan meniti tangga naik
Menjemput takdir

Adam,
(Klender, 23 Januari 2014)

(sumber: weheartit.com)

(sumber: weheartit.com)

END-

Depok, 24 Maret 2015

Penjelajah

duhai pejelajah waktu, penjelajah aku
kemarilah, datang padaku
aku ialah lembah-lembah penawar sedih
tempat sejuta warna keindahan singgah

duhai penjelajah waktu, penjelajah aku
kemarilah, datang padaku
sebuah negeri yang tak pernah kaukunjungi
lintasilah segala sudutku

duhai penjelajah waktu, penjelajah aku
kemarilah, datang padaku
gurun pasir cokelat keemasan
yang siap menabur tubuhmu dengan cahaya

duhai penjelajah waktu, penjelajah aku
kemarilah, datang padaku
aku adalah gunung paling tinggi
yang menggiurkan para pendaki

duhai penjelajah waktu, penjelajah aku
kemarilah, datang padaku
si laut biru yang paling megah di belantara bumi
yang paling mampu membuat laki-laki tenggelam

duhai penjelajah waktu, penjelajah aku
jelajahilah aku
aku ialah apa saja yang ingin kau jelajahi
mulai lah dari mana saja, dan jangan pernah berhenti

duhai penjelajah waktu, penjelajah aku
jelajahilah aku
namai aku, sebut aku
aku; tujuan hidupmu

Depok, 12 Maret 2015

Aku Adalah Sebuah Kota

aku adalah sebuah kota yang hujan
basah oleh genangan darah dan air mata
malam-malam memiliki samurai
siap menebas nyawa siapa saja

aku adalah sebuah kota yang terang-benderang
oleh lampu raksasa pengundang peluh
meranggaskan rambut-rambut pepohonan
semakin hari mereka semakin tua, dan botak

aku adalah sebuah kota yang penuh bunga
tapi namanya bukan mawar, anggrek, atau melati
melainkan plaza, hotel, apartemen, dan ruko-ruko
nama-nama yang diadaptasi dari barat sana

aku adalah sebuah kota yang gemerlap
oleh sinar-sinar mata si roda empat
tubuhku penuh oleh kerlap-kerlip
apabila gelap malam merayap langit

aku adalah sebuah kota yang dimaki-maki
bila tubuhku sedang penuh oleh kuda-kuda besi
padahal, mereka yang menunggangi
mengapa aku yang dimaki-maki?

ah, aku hanyalah sebuah kota
yang rindu kemegahan kata sederhana
yang rindu oleh kebaikan malam
yang rindu dengan cahaya yang tak pongah

ah, aku benar-benar hanya sebuah kota
yang rindu wajah segar pepohonan
yang rindu rambut-rambutnya
yang rindu dengan bunga-bunga mawar, anggrek, atau melati

ah, aku hanyalah sebuah kota
yang tua renta
yang batuk-batuk sebab kuda-kuda besi
yang tinggal menunggu waktu membuatku mati

Pistol

Dyaaarrr! Dyaaarrr!
Barisan aksara itu menembaki kepala
Dengan tubuh tegap seperti tentara
Mereka lihai menembaki peluru-peluru ke arah yang diincar

Aku tidak menghindar
Apalagi menyerang balik
Tubuhku hanya kaku di tempat
Seperti manusia yang diperdungu rasa takut

Dyaaarrr! Dyaaarrr!
Kubiarkan aksara berseragam tentara
Meleburkan kepalaku dengan peluru-peluru
Berisi tubuhnya sendiri

Aku masih tidak menghindar
Apalagi menyerang balik
Kubiarkan kepalaku lumat oleh luka
Oleh darah yang mengucur dari sana serupa hujan

Dyaaarrr! Dyaaarrr!
Kunikmati tiap bunyi ledakan itu
Bergemuruh gaungannya pada telingaku
Serupa suara dewi-dewi yang suaranya merdu

Aku tidak akan menghindar
Sebab jitu peluru menghabisi kepalaku dengan aksara
Darah-darah yang mengalir dibuat air minum oleh para perindu
Yang haus akan sebuah temu dan angan semu

Ah, mereka mungkin seperti aku
Yang kepalanya sudah lebur oleh peluru
Dari para aksara-aksara berpakaian tentara
Lalu yang membuat mereka, juga aku, rela ditembak hancur
Ialah pistol pada tangan-tangan tentara

Tak perlu lagi aku bertanya pistol apa yang dipegang tentara
Sebab aku, juga mereka, sudah tahu jawabannya
Itulah alasan mengapa kami, para perindu, tidak gentar menghadapi peluru-peluru
Tidak takut akan darah yang mengucur deras dari kening

Pistol itu bernama rindu
Peluru-pelurunya membuat candu
Ah, mana mungkin aku kabur
Dari tiap ledakan yang buat kepalaku lebur

rindu itu pistol yang siap meledakkan kepalaku.
sekarang.

– @chikopicinoo

Depok, 24 Februari 2015

Duka Kopi

Duka kopi
Ialah judul puisi
Ini bukan Gol A Gong
Sebab ini bukan Air Mata Kopi

Duka kopi
Datang dari air mata, air mata sedih sepi
Sebab perkara cinta, rindu, dan pesan yang tak terbalas
Apa daya pahitku disamakan oleh duka-duka mereka

Duka kopi
Ah, mereka bilang aku surga
Mereka bilang aku duka
Bila aku neraka, dan kebahagiaan, mereka akan bilang apa?

“Minumlah kopi ketika kau sedih.” ujar manusia dalam kafe itu
Kepada perempuan yang sedang tenggelam dalam lautan di meja kayu
Perempuan itu menangis tak kunjung reda,
Dan aku dibiarkannya mendingin digigilkan angin senja

Perempuan itu kembali tegakkan wajah
Menyurutkan laut pada meja kayu
Lalu mengantarkan jiwaku dari dalam cangkir ke dalam terowongan gelap
Kata teman-temanku, terowongan itu bernama kerongkongan

Kemudian, tubuhku merasakan gemetar pada laut
yang kini sedang kuarungi sampai mati
Oh, perempuan menyedihkan tadi sedang tertawa
Dan aku perlahan mati dalam perempuan itu
Matiku ini berbarengan dengan keringnya laut di meja kayu

Duka kopi,
Barangkali mereka benar
Aku ialah surga
Dan pengganti kesedihan

Sekadar kau tahu,
Ada duka yang kautukar dengan secangkir aku
Duka itu digantikan oleh kematianku dalam perutmu
Duka itu digantikan air mata teman-temanku dalam toples kaca;
yang menunggu mati

Duka kopi
Ialah surga yang kalian sebut-sebut.

Depok, 22 Februari 2015

Berceritalah

Suatu pagi telingaku merindu
Pada suara yang sering bercerita di masa dahulu
Barangkali karena suaranya yang bak cericit burung gereja
Atau karena cerita-cerita yang menggugah selera

Dia bukan bercerita bagaimana sebuah makanan terhidang di atas meja makan
Bukan pula bercerita tentang pulau yang dipenuhi bidadari setengah telanjang
Dia bercerita kehidupan yang beragam macamnya
Caranya berbicara ialah cara sebuah laut menenggelamkan kapal

Aku ialah kapal yang karam
Tenggelam sampai dasar
Tanpa mau kembali ke daratan
Tanpa mau kembali bernapas

Biar kuceritakan bagaimana ia berdongeng
Tentang waktu-waktu yang perna ia lalui, datang dan pergi, pergi dan datang
Tentang binar matanya yang sinar matahari tengah hari bolong pun kalah api;
Semangatnya yang menceritakan sebuah harapan-harapan mulia

Ketika bibirnya terbuka satu kali,
Aku masih berlayar pada laut yang tenang
Ketika bibirnya terbuka lima kali,
Aku mulai terseret ombak-ombak yang mendengkur panjang

Ketika bibirnya terbuka sebelas kali,
Lautnya sedang melahap kapalku sampai dasar, tenggelam karam tanpa mau kembali
Ketika bibirnya tertutup, tanda cerita telah usai
Kapal dan aku, kembali bernapas

Lalu di mana-mana udara
Lalu di mana-man angin
Lalu sudah terdampar di daratan

Ah, rupanya kau sudah selesai bercerita
Ah, tenggelamkan aku lagi
Aku rindu tenggelam
Berceritalah…

Depok, 22 Februari 2015

Peniup Ruh Baru

Kepada engkau yang giat merajut benang-benang kata menjadi puisi paling memilukan sekaligus syahdu dalam satu-waktu, penjahit kata-kata yang kerap patah dalam dadamu yang ingar-bingar oleh apa yang tidak aku pahami.
Lagi-lagi, kukirimkan surat–entah keberapa kali–untukmu, tanpa bosan meski tanpa balasan.

Selamat mendengar kucuran hujan dari langit yang kian hari kian melebam, kian sembab oleh air mata dari mata musim.
Engkau tidakkah bertanya-tanya? Perihal judul Peniup Ruh Baru padahal Tuhan bukanlah gelarmu. Kau hanya Tuan dari kata-kata yang hidup dalam nadiku. Ya, nadiku yang basah oleh syair-syair yang kautulis di mana saja, rentetan aksara yang berulangkali buatku bertanya, dan mencoba mengerti seperti memahami apa yang tertulis pada buku ratusan lembar dengan sampul beledu merah muda; kau seringkali menyebutnya alkitab.
Aku ialah mata yang membaca judul-judul pada bait pertama yang kau tulis, mata yang mengeja tiap larik kesedihan yang kaualirkan ke darahku, dan mata yang terbuai oleh cantiknya aksaramu.

“Mengapa judul suratmu Peniup Ruh Baru, bukan Tuan Puisi saja?” bila hatimu bertanya demikian tuan, kau bisa lebih agung dari sekadar Tuan Puisi. Tuan, tidakkah kau tahu bahwa puisi ialah ruh bagi hati siapa saja yang mati? Puisi bisa menghidupkan apa saja kecuali tanaman yang sudah mati, hewan yang sudah mati, atau jasad yang sudah tak bernyawa. Bahkan kau tahu, puisi bisa menghidupi penyair yang tlah mati. Tentu bukan jasadnya, namun keberadaan arwah sang penyair yang menulisinya.
Tuan, andai kau tahu, sebelum ada kau satu bagian dari diriku telah mati digerogoti kepercayaan yang berlebihan dan pedih atas nama cinta. Bagian itu bernama hati. Hatiku sebenarnya tlah mati, tuan. Jauh sebelum engkau datang dan menghidupinya kembali. Dengan puisi yang kaudendangkan pada telingaku yang haus akan aksara surgawi dari bibirmu. Seperti aliran sungai yang kembali deras setelah musim kekeringan yang panjang.

Tuan, puisimu barangkali seruling yang meniupkan melodi yang menjelma ruh ke dalam relung hatiku nun jauh sampai dasar. Meresapi setiap bunyinya, hingga asap ruh itu mampu membangunkan kembali hati yang tlah mati, menyusun kembali hati yang tlah lama runtuh menjadi utuh. Seperti baru terlahir kembali.
Kau tiup perlahan-lahan aksara itu ke dalam dadaku, lalu gugur di sana seperti daun-daun kering yang akhirnya rontok pada tanah merah, ah tuan, mereka bilang ini yang namanya jatuh cinta.
Tuan, seandainya memang puisi yang kautiupkan itu bukanlah kepadaku, bukanlah untuk menghujani musim kering di dadaku, tapi engkau tlah terlanjur menghidupinya kembali. Ruh dari puisimu telah bersemayam dalam dadaku atas nama cinta. Jadi biarkanlah aku tetap memanggilmu Peniup Ruh Baru. Bukan Tuan Puisi.

Itu sebabnya, judul surat ini ialah Peniup Ruh Baru, Tuan.

puisimu ialah ruhku meskipun kautiupkan kepada orang lain.
yang hidup ialah debarku, menjelma gemetar paling syahdu.

Depok, 18 Februari 2015

Mereka Bilang, Saya Pikir

Mereka bilang,
Mereka tiang
Pemerkasa keadilan

Saya pikir,
Pemerkasa, Pemerkosa?

Mereka koyak habis lapis-lapis
Dalam tubuh keadilan
Menodai nama sang agung

Mereka bilang,
Kebenaran dipanggul
Dua pundak mereka

Saya pikir,
Kebenaran, kemunafikan?

Mereka bungkam bibir-bibir kebenaran
Mereka beri toa pada mulut-mulut berbisa

Ah, mereka bilang
Begini, begitu
Demi mengkibar nama baik

Ah, saya pikir
Begini, begitu
Percuma busuk nama tlah tercium

Mereka bilang,
Mereka begini, begitu
Ah, saya pikir
Mereka begini, begitu

Depok, 18 Februari 2015
Menyinggung kebusukan di balik KPK VS POLRI yang masih sengit di layar telivisi. Mumet ndasku, bung!

Puisi Pagi

Pagi untukku,
Ialah jeruji besi paling kokoh
Ketika rindu-rindu dan kehampaan mendekam

Sesak penuh gegap gempita
Sementara sinar matahari
Ialah cahaya cahaya baru
Yang berasal dari doa para perindu

Aku ialah salah satunya
Penguning langit yang menguning
Sebab bebaris lantunan doa
Tlah berhasil ditangkap langit
Dari detik-ke-detik, menit-ke-menit

Maka berdoalah, kasih
Agar rindumu tak kelabu
Agar hampamu tak lagi hitam-putih

Maka berdoalah, kasih
Demi Februari yang kelabu
Demi pagi yang selalu membisik rintik hujan
Demi aku.

Depok, 17 Februari 2015