Thalia
Aku tidak menyangka akan secepat ini. Tidak menyangka kalau kita menggulung kisah ini secepat menggulung karpet atau menggulung kalender atau menggulung kertas yang tak lagi dipakai. Apa kau bakal menyangka seperti ini? Apa kau menulis puisi untukku? Apa kau sedih ketika meninggalkanku? Apa kau menangis? Apa kau selalu merinduiku, seperti yang selalu kau ulang-ulang ketika kau mau pulang ke kotamu? Apa kau bahagia hari ini?Dhanis
Aku tidak menyangka akan secepat ini. Aku selalu berpikir, kaulah yang nanti memiliki seluruh pagi dan malamku. Aku selalu berpikir, kaulah tempat segalaku berbagi. Berbagi kegembiraan, kesedihan, dan kekosongan-kekosonganku. Apa kau masih menyimpan puisi-puisiku? Apa kau akan menangis ketika membacanya ulang? Apa kau masih ingin membacanya lagi? Apa masih kau simpan? Aku membuatkanmu tujuhbelas puisi selama satu tahun kita tak lagi berjumpa dan bercumbu. Puisi-puisimu, masih rapi tersimpan di laciku. Bersama foto-foto kita. Bersama puisi-puisiku yang tak pernah kukirimkan.
Bandara Soekarno – Hatta, 14 Desember 2015:
Dhanis
Aku tidak menyangka bakal begini jadinya. Pertengkaran kemarin adalah hal yang tak pernah kuduga-duga ketika aku kemari. Aku hanya mengharapkan peluk hangatmu, dapur hangatmu, ranjang hangatmu. Tapi kau siksa aku dengan dinginmu. Dinginmu, kau tahu, seperti dinding, aku tak mampu leluasa menyentuhmu lagi. Saat itu, kali terakhir aku mencium tengkukmu, saat itu pula aku tahu bahwa jiwamu tak lagi bersamaku. Hanya ragamu. Hanya raga dan kata-katamu yang semua bohong.
Thalia
Maafkan aku, Dhanis. Pertengkaran kemarin seharusnya tidak terjadi. Dan kepulanganmu seharusnya bukan hari ini. Maaf aku tak bisa mengantarmu ke bandara. Maaf aku tidak memelukmu yang lama dan erat seperti biasanya. Maaf aku tidak memintamu tinggal. Maaf aku tidak sempat meminta maaf.
15 Januari 2013
Thalia
Aku rasa aku sedang jatuh cinta. Dhanis. Pemilik nama itu yang menebus hatiku dari jerat-jerat masalalu dan krat-krat bir yang selalu kuminum setiap malam. Dhanis sangat baik, supel, dermawan, dan mampu membuat kedua mataku tak berpaling darinya ketika dia berbicara. Ini gila. Ini tidak pernah terjadi. Daya pikatnya kurasa terbuat dari serbuk ajaib yang terbuat dari rumah kurcaci atau peri-peri baik. Dia selalu menatap mataku ketika berbicara. Matanya tersenyum. Kupikir mata itu hanya laut dangkal, tetapi nyatanya sungai yang deras. Lima menit pertama aku terseret, lima menit kedua aku hanyut, lima menit ketiga aku tenggelam, lima menit keempat aku masuk ke dalam samudranya, dan lima menit kelima aku rasa aku tidak akan bisa kembali lagi. Ini sungguh gila, kan? Apa jatuh cinta segila ini?
Dhanis
Aku rasa aku sedang jatuh cinta. Yang benar saja, dia membaca Haruki Murakami dari Norwegian Wood hingga 1Q84, Emily Dickinson, dan Robert Frost. Yang benar saja, dia mendengarkan musik The Smiths, Simon & Garfunkel, The Everly Brothers, dan Bob Dylan. Yang benar saja, dia menggilai lagu-lagu Morissey. Yang benar saja, kita berdiskusi dari lepas pagi hingga semua toko tutup. Matanya, ada yang mengganjal di sana. Barangkali kesedihan. Dia seperti menyembunyikan kegelapan dalam matanya. Lima menit pertama, aku tak dapat melihat sama sekali, lima menit ke dua aku tersesat, lima menit ketiga aku kelimpungan, lima menit keempat aku mulai menikmati gelap itu, lima menit kelima aku menemukan cahaya. Cahaya itu bersinar setitik saat kita bertatapan. Ah, apakah ini ilusi melankolia saja? Atau memang jatuh cinta segila ini?
Maret, 2013
Thalia
Ada yang ingin meledak dalam tubuhku. Kau memasukkan puisi ke dalam tubuhku. Puisi yang telanjang. Puisi yang basah. Puisi yang berdenyut. Puisi yang mendebarkan. Puisi yang rasanya ingin meledakkan diriku saat itu juga. Puisi yang sunyi. Seperti malam dan hujan rintik-rintik turun bersamaan dari langit. Heningnya membuat terpaku. Kau menatapku. Sekali lagi, aku tidak ingin kembali. Kita bercinta. Dalam arti yang sebenarnya. Kita bercinta. Bukan bersenggama. Dan kita melakukannya empat kali lagi.
Dhanis
Ada yang ingin pecah dalam tubuhku. Aku memasuki belantara hutan paling gelap. Paling rimbun. Paling basah. Paling dingin. Dan paling berangin. Aku duduk di salah satu batunya dan menulis puisi. Puisi yang telanjang. Puisi yang basah. Puisi yang mendebarkan. Puisi yang rasanya ingin menggetarkan hutan. Menggetarkanmu. Kemudian puisi paling sunyi. Puisi yang meninabobokanmu dalam rengkuhaku. Dalam selimut hangat kita. Pejammu sehening laut mati. Aku ingin berenang di sana dan tak kembali lagi. Mati pun boleh saja, aku tak keberatan. Kita bercinta. Dalam arti yang sebenarnya. Kita bercinta. Bukan bersenggama. Dan kita melakukannya empat kali lagi.
April 2013
Thalia & Dhanis
Kita tidak ingin meminta apa-apa lagi. Rasanya sudah lengkap. Kami saling mengisi kekosongan satu sama lain. Kami saling menukar kado. Isi kado itu selalu cerita yang Thalia bawa, atau Dhanis bawa setelah tak berjumpa. Thalia di Jakarta, Dhanis di Manado. Seminggu sekali kita bertemu, berciuman, berpelukan, bercinta. Kadang dua minggu sekali. Jarak tidak melunturkan cinta kami, kami yakin itu.
Thalia
Jarak tidak melunturkan cintaku padamu. Kau datang dan selalu membuat aku tak bisa kembali. Ketika kau pulang ke kotamu, aku akan terus tenggelam mencintaimu. Hari ini kau akan kembali ke Manado. Aku sudah buatkanmu bekal makan masakanku dan puisiku. Ada tiga puisi.
Dhanis
Jarak tidak melunturkan cintaku padamu. Kau datang dan selalu membuat aku tak bisa melihat dengan jernih. Ketika aku pulang ke kotaku, aku akan terus tersesat mencintaimu. Hari ini aku kembali ke Manado. Kita akan berpisah. Terima kasih bekalmu. Nasi goreng telur hangat yang enak. Aku sudah menyelipkan tiga puisi di buku puisi Lang Leav yang kuberikan padamu. Oh iya, aku akan membawakanmu masakan khas Manado ketika aku kembali. Tapi bukan masakanku, melainkan masakan ibuku, karena aku tidak bisa memasak, hehehe.
September 2014
Thalia & Dhanis
Terbukti, jarak tidak melunturkan cinta kami. Mungkin resepnya adalah puisi. Sudah tradisi kami, ketika hendak berpisah, masing-masing kami menulis puisi untuk dihadiahkan ke satu sama lain. Ini resep agar cinta tidak cepat luntur dan awet. Lagi pula, dalam diri kami tidak hanya ada cinta. Tetapi ada pula rasa persahabatan dan persaudaraan yang terjalin begitu saja. Kami, misalnya, bisa saja berdiskusi dari semua toko buka hingga semua toko tutup. Yang dibicarakan ada saja. Buku, musik, puisi, politik, kesenian, ekonomi, sosial budaya, soal-soal remeh keseharian, ya begitu lah. Kadangkala, bisa saja kami bertengkar seperti sepasang kakak adik yang rebutan remot tv, perkara rebutan makanan, perkara remeh yang membuat kami saling cemberut satu sama lain. Tapi tak pernah lama. Satu-dua jam, mungkin kami akan kembali tertawa dan bercinta di kamar tidur, kamar mandi, atau sofa. Thalia senang sekali di sofa. Kalau Dhanis lebih senang di kamar mandi.
Januari 2015
Thalia
Hampir sebulan kita tak bertemu. Apa kau rindu padaku? Kau selalu bilang, ‘aku selalu merindukanmu. I’ll miss you’. Kau selalu bilang, hari-harimu tidak pernah tidak dipenuhi rindu. Benarkah? Mengapa kini kau sibuk sekali? Tenggelam dalam rutinitasmu dan pekerjaan-pekerjaanmu. Mengapa semakin hari kau semakin dingin saja? Aku ingin datang ke Manado dan mengambil cuti kerja, tetapi kau selalu katakan jangan. Kau selalu bilang ‘aku sibuk. minggu depan aku akan datang ke Jakarta. Tunggu saja,’ katamu. Tapi, hei, ini sudah dua minggu!
Dhanis
Hampir sebulan kita tak bertemu. Aku sangat rindu padamu. Aku akan menemuimu, tapi tidak minggu ini. Maafkan aku. Wajahmu pasti sedang memasang raut kesal. Membayangkannya, aku ingin mencubit pipimu dan menenggelamkan wajahmu ke wajahku. Kau akan memasang wajah cemberut, dan aku akan memelukmu. Memelukmu erat. Dan kuyakin kau akan menangis dan memukuli punggungku. Kau benci punggung. Itu kan yang kau tulis di puisi-puisimu padaku? Belakangan ini aku memang sedang sibuk. Kuharap kau tak memiliki prasangka buruk kepadaku. Aku sedang mempersiapkan ini untukmu. Untuk kita. Untuk masa depan kita. Untuk percakapan yang panjang, pagi yang lebih panjang, senja yang selalu merona, dan malam yang duakali lipat lebih hangat dan panjang. Rasanya dunia kita tidak memiliki siang. Tidak memiliki terik. Aku harap kau tabah menungguku. Aku akan kembali dan tersesat.
Agustus 2015
Thalia
Dhanis, entah mengapa ini rasanya lain bagiku. Asing. Asin.
Dhanis
Thalia, apa yang berubah darimu? Entah mengapa ini rasanya lain.
September 2015
Thalia
Apakah kita bisa jatuh cinta kepada dua orang secara bersamaan? Aku rasa, aku tidak bisa meneruskan ini, Dhanis. Tapi, apa yang terjadi denganku bila tanpa kamu? Aku rasa aku tidak bakal mati, tetapi aku akan kehilangan.
Dhanis
Kau bilang, aku adalah samudera di mana kau tak bisa kembali. Thalia, apa kau kini menemukan sebuah perahu dan berniat kembali?
Oktober 2015
Thalia
Aku tidak sanggup untuk tidak kembali. Aku ingin kembali. Aku tidak bisa berenang.
Dhanis
Proyekku gagal sudah. Maafkan aku Thalia, mungkin aku tak akan datang ke Jakarta dalam jangka waktu yang ditentukan. Aku perlu sendiri. Aku perlu merenung. Aku perlu memperbaiki.
November 2015
Thalia
Saat kau kembali ke Jakarta, aku tak bisa merasai apa-apa lagi. Ketika kulihat wajahmu dan tanganmu melambai, aku tak bisa menyunggingkan senyum tulusku. Tapi aku tetap tersenyum. Senyum palsu. Kau merasakan itu?
Dhanis
Saat aku kembali ke Jakarta, aku ingin segera memelukmu erat-erat. Tetapi ada apa matamu, Thalia? Gelap. Mengapa tak ada cahaya lagi? Aku seperti menemukan kegelapan yang sama saat pertama kali kita bertemu di bar itu. Bar tempat kau mencurahkan segala kesedihanmu dalam krat-krat bir di meja. Karena itu, aku tak jadi memelukmu. Hanya menggenggam tanganmu. Pelan.
Thalia
Saat kau memelukku, aku tak bisa merasai apa-apa lagi. Ketika kuliahat matamu, ternyata aku tidak terseret lagi. Aku sudah kembali ke daratan. Pun ketika kau masuki aku. Kau hentak-hentak tubuhmu ke dalam aku. Kau ciumi seluruh tubuhku. Kau hinggapi tengkukku berlama-lama. Telanjang. Basah. Berdenyut. Dan berdebar. Aku tidak akan meledak, tetapi aku berpura-pura meledakkan diri. Kita tidak bercinta. Bukan dalam artian sebenarnya. Kita tidak bercinta. Kita bersenggama.
Dhanis
Saat aku memelukmu, aku hanya merasakan dingin. Ketika kulihat matamu, gelap itu kini kembali menjadi dinding. Tembok batu. Keras dan tak tertembus apapun. Pun dengan sentuhan-sentuhanku yang katamu adalah puisi. Puisi yang telanjang. Puisi yang basah. Puisi yang berdenyut dan berdebar. Aku ingin menggetarkanmu lagi, tapi ku rasa kau hanya pura-pura bergetar. Kurasa kita tidak sedang bercinta. Tetapi bersenggama.
Desember 2015
Thalia
Sampai sini saja.
Dhanis
Sampai sini saja?
Sepanjang 2016
Dhanis
Aku menghabiskan setengah tahun ini untuk berduka. Dan setengah tahun lainnya untuk membuka hati. Berat melupakan Thalia. Kurasa tidak ada lagi yang menyamainya. Thalia hanya satu. Puisi-puisi, gagasan-gagasan, cerita-cerita Thalia, hanya Thalia yang mampu membuatnya. Perempuan itu bernama Rani. Dia sesederhana namanya. Kisah percintaan kami biasa saja. Normal. Tapi entah mengapa, dia membuatku yakin. Tahun depan aku akan menikahinya. Terlalu cepatkah? Tidak kalau kamu sudah yakin, waktu satu dua hari pun tidak cepat bagimu.
Thalia
Aku menghabiskan setengah tahun ini untuk berduka. Dan setengah tahun lainnya untuk membuka hati. Berat melupakan Dhanis. Kurasa tidak ada lagi yang menyamainya. Dhanis hanya satu. Puisi-puisi, gagasan-gagasan, cerita-cerita Dhanis, hanya Dhanis yang mampu membuatnya. Laki-laki itu bernama Romi. Dia sesederhana namanya. Kisah percintaan kami biasa saja. Normal. Tapi entah mengapa, dia membuatku yakin. Minggu ini dia melamarku. Terlalu cepatkah? Tidak kalau kamu sudah yakin. Aku dan Romi sudah yakin. Kami sepakat menikah tahun depan.
—END—
Depok, 14 Oktober 2016