Surat Untuk Si Pelaut

Hai, Pelaut!
Selamat hari Jum’at.

Hai pelaut samudera aksara di pikiranku, yang namanya enggan kutera di badan surat,
semoga lautku tak membuatmu ingin segera menepi sebab aksaraku bergelombang menghantam perahumu berkali-kali.
Tahukah engkau, pikiranku ialah samudera aksara, ratusan puisi bagai ikan-ikan di dalam laut yang memujamu.
Di kala malam, dikabut gelisah, dan badai beliung, semesta pikirku menjelma lautan; biru dan bergelombang. Kau ialah satu-satunya pelaut yang berani berlayar. Memancing ingatan-ingatan yang pernah kita lalui.
Di kala pagi, kau masih fasih mengarungi laut tanpa peta dan kompas. Aku ialah laut yang kelelahan menahan beban perahumu. Kemudian ratusan puisi bagai ikan-ikan yang menyerukan kerinduan.

Hai, Pelaut,
kini ragamu telah sampai di pelabuhan entah-di mana- aku tidak begitu hapal namanya.
Lautku merindukan ragamu yang berlayar, bukan hanya bayanganmu.
Meski begitu, bayanganmu tiada henti mengarungi samudera semesta pikirku. Melewati rute-rute perjalanan yang pernah kita lewati dengan suara tawa, percakapan, dan nyanyian-nyanyian konyol sang nahkoda kapal. Hal yang tidak dapat kuraih kembali. Hal yang hanya berupa kenangan.
Lautku, laut mati. Tiada lagi yang berlayar kecuali bayanganmu. Sepi. Ratusan puisi bagai ikan-ikan yang memuisikan kesedihan dan kehilangan secara bergantian. Tiada nyanyian. Tiada puisi jatuh cinta.

Pelaut,
aku ialah laut yang menunggu ragamu kembali berlayar di tubuhku.
Bila suatu hari nanti kau kembali, aku hanya punya dua pilihan, yakni;

  1. menenggelamkanmu dalam lautku, agar kau tak pernah pergi lagi dan akan tetap tinggal selamanya di sini, atau

  2. mengubah diriku menjadi dermaga, agar suatu hari kau akan berlabuh tuk terakhir kali.

Dua pilihan itu akan terus menjadi misteri, sampai kau kembali berlayar.
Pelaut, aku merindukanmu.

Dari aku,
Lautmu.

Depok, 30 Januari 2015

5 Comments

Tinggalkan Balasan ke chikopicinoo Batalkan balasan