Selamat berganti hari, kau yang sedang sibuk entah dengan apa. Aku tidak akan mengucapkan selamat pagi lagi, sebab aku bangun ketika pagi sudah menua dan berakhir mati terbakar terik matahari siang. Hari ini suratku ingin menceritakanmu sebuah dongeng, ya.
Dongeng tentang bunga yang mekar di kepala perindu, judulnya Ilusi Pagi. Entah mengapa, sejak aku terbangun, aku ingin sekali berdongeng kepadamu, tentang apa saja seperti yang sering kaulakukan dulu. Yang sering kita lakukan dulu; bercerita. Ah, kau tahu kini ketika aku mulai menulis surat ini, aku sedang rindu-rindunya pada alis, mata, hidung, bibir, dan tanganmu yang bergerak-gerak ketika kau bercerita. Lucu sekali!
Hehe..kumulai saja ya dongengnya;
Pada suatu malam, ketika gugusan bintang pagi mulai merayapi langit yang kini tak hitam lagi sebab jarak antara bumi dan matahari semakin dekat, sekuntum bunga mekar pada kepala seorang perempuan. Bunga itu mekar disirami air mata dari sepasang mata perindu yang begitu lama menunggu temu.
Perempuan itu barangkali terlalu lelah menunggu harapan yang tak kunjung jadi nyata, menunggu do’a-do’a nya dianggukkan semesta. Ia tersedu sedan di kamarnya yang gulita oleh padam lampu di langit-langit kamarnya.
“Duhai Tuhan, sampai kapan aku menunggu dia yang tak lekas datang? Kau tahu, aku menunggunya sejak malam memiliki langit sehitam gaun malamku hingga warna langit malam itu luntur oleh cahaya matahari dan berubah ungu.” perempuan itu masih menengadahkan tangan sambil menatap jendela yang mempertunjukan warna langit yang hitamnya perlahan mengungu. Semesta tak kunjung mengangguk, Tuhan tak kunjung menjawab pertanyaan si perempuan.
Perempuan itu kini sudah pejam. Mengatupkan sepasang matanya yang masih menyisakan genangan air. Dibiarkannya air mata itu mengering sendiri diembus angin malam yang lewat dari ventilasi udara dalam kamarnya. Diam-diam, Tuhan masuk ke dalam kamar perempuan itu. Mengendap-endap, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Ia menghampiri perempuan malang itu dan menanam sesuatu di kepalanya. Bibit bunga. Tuhan menghadiahi perempuan itu bibit bunga. Usai menanam bibit bunga dalam kepala perempuan yang sedang tidur,Tuhan segera pulang ke tempat asalnya. Mengendap-endap tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Dibiarkannya angin tak berembus ke dalam ventilasi kamar perempuan itu. Tuhan sengaja menahan angin agar tak tembus ke kamar perempuan itu supaya air matanya bisa menyirami bibit bunga yang baru saja Ia tanam di keningnya. Perlahan, senyum Tuhan terkembang di sudut-sudut bibirnya.
Malam itu, gugusan bintang pagi merayapi langit. Bulan purnama sudah menghapus riasan di wajahnya, bersiap pulang dan rebah pada ranjangnya. Pementasan langit malam sudah usai, diganti oleh dinihari. Dalam kepala perempuan itu, bunga perlahan mekar. Air mata di dua ujung kelopak matanya diserap bibit bunga tadi dan membuat kelopak-kelopak bunga yang indah. Perlahan, perempuan itu tersenyum. Sebab, di dalam kelopak bunga dalam kepalanya keluar seorang laki-laki. Laki-laki yang membuatnya menunggu sekian lama.
“Selamat pagi, Rinai.” ujar laki-laki itu menyapa perempuan yang sedang terpana di hadapannya. Perempuan yang semalam menanyakan keberadaannya pada Tuhan. Perempuan yang dipanggil Rinai, tersenyum.
“A…Awan…” ya, laki-laki itu bernama awan.
Laki-laki yang bernama Awan turun dari kelopak bunga, lalu menghampiri Rinai. Awan memeluk Rinai. Dibiarkannya tangis Rinai membasahi kemeja awan. Kemeja yang sering dipakainya. Awan mendekap perempuan itu lekat-lekat. Sekejap saja, sebelum akhirnya dilepas dan digantikan genggaman tangannya pada Rinai.
“Maafkan aku harus pergi dan meninggalkanmu.” kata laki-laki itu dengan wajah bersalah. Rinai mengangguk.
“Aku merindukanmu sepanjang malam.” Rinai mendesah lirih.
“Aku tahu. Ini berat untukmu, dan juga untukku, andai kau tahu.” Awan masih menggenggam tangan Rinai yang dingin. Yang halusnya masih sama seperti dulu.
“Aku tahu, Awan. Tetapi malam ketika merindumu itu terus berulang setiap malam.” Rinai menangis. Awan masih sibuk menghangatkan tangan Rinai.
“Kau seharusnya tidak merindukanku.” ujar Awan. Kini laki-laki itu menangis.
“A…aku tahu. Aku seharusnya melepasmu dan tak perlu lagi menunggu…” Rinai berkata lemah. Ia lepaskan genggaman tangan Awan lalu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Awan yang termangu sambil melelehkan air mata di sepasang mata yang jarang menangis. Kini ia menangis.
Rinai kini telah sampai di entah di mana. Meninggalkan Awan yang ingin sekali ia temui. Meninggalkan begitu saja laki-laki yang sudah ribuan malam ditunggunya. Angin membelai rambut sebahu Rinai. Dibiarkannya air mata itu kini dikeringkan angin dan waktu. Perempuan itu kembali terpejam. Dirasakannya air mata itu menghangatkan pipinya juga perasaannya. Ia ingat kata-kata Awan; kau seharusnya tidak merindukanku.
Ah, kini perempuan itu merasa dungu telah dipermainkan malam yang ia habiskan demi menunggu laki-laki itu. Laki-laki yang justru tidak menginginkan rindunya. Ia terpejam, mengingat detik-detik perpisahan waktu lalu dengan pelukan singkat dan aroma-aroma tubuh Awan yang lebih mirip hujan. Ia terpejam, mengingat air mata lelaki itu. Tunggu…air mata? Laki-laki itu menangis?
Perlahan, Rinai membuka matanya. Terang. Kini yang perempuan itu lihat hanya terang yang memenuhi pandangannya. Langit malam yang ungu itu sudah tak nampak, digantikan kuning matahari yang sedang nyengir pongah. Ia tahu ini musim panas dan bukan lagi musim hujan.
Perempuan itu ingin kembali, ke tempat di mana Awan berada di depannya, menggenggam tangannya, dan menangis. Tapi ia tak bisa kembali lagi. Pagi sudah memberangus mimpi itu menjadi tiada, bahkan bantalpun tak sanggup merekamnya. Ah, ya, yang barusan itu hanya mimpi belaka. Ilusi pagi yang sementara. Namun hujan di sepasang mata lelaki itu kembali mengusiknya, membuat ia ingin berlari ke tempat Awan berdiri, dan bertanya;
“Awan, apa kau bahagia?” hanya itu. Perempuan itu hanya ingin memastikan, apakah laki-laki yang ia rindukan, yang ia cintai itu bahagia dengan pilihan hidupnya; pilihan untuk pergi meninggalkan Rinai berdua saja oleh luka.
Ah, ia ingat doa semalam pada Tuhan yang ia pikir malas menjawab doanya. Ia ingat bunyi-bunyian semalam, suara mengendap-endap. Bunga itu. Bunga yang ditanam Tuhan di kepalanya semalam. Bunga itu dinamakannya bunga ilusi. Ilusi pagi. Perlahan, perempuan itu kembali tersenyum, dengan kesadaran yang lain; ternyata, Tuhan menjawab do’a umatnya dengan cara yang berbeda-beda. Seperti caraNya menjawab doaku lewat mimpi, bisiknya dalam hati sekaligus menyisipkan ucapan terima kasihnya pada Tuhan.
Perempuan itu kembali terpejam. Kali ini, bukan untuk kembali melihat Awan berada di kepalanya, tetapi untuk melupakan. Melupakan mimpi. Melupakan tangisan Awan. Dan menganggap, rindunya pada Awan telah usai diberangus matahari yang kian tinggi.
Tamat.
Bagaimana dongengnya? Kau suka?
Ah, Kau tahu?
Semalam, bunga yang sama mekar juga di kepalaku. Aku tidak menanggap ini sebuah pertanda atau apa,
tetapi, semoga kau selalu bahagia dan baik-baik saja.
Depok, 25 Februari 2015